Rizal Ramli : Blok Masela Harus Dorong Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia Bagian Timur

Rizal Ramli : Blok Masela Harus Dorong Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia Bagian Timur
SP 06/16 Dalam waktu dekat Presiden Joko Widodo akan menentukan, apakah pemanfaatnya dengan kilang darat atau di terapung laut. Menteri Koordiantor Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli yakin, pemanfaatan lapangan gas Blok Masela akan memperhatikan kepentingan daerah sekitar ladang gas khususnya, dan kawasan Indonesia Timur umumnya. Terkait masalah ini, Presiden memberi arahan agar pemanfaatan gas bumi tidak hanya dijadikan sumber pemasukan dalam bentuk devisa. Gas juga harus dilihat sebagai sarana penggerak ekonomi, baik secara nasional maupun, terutama di daerah sekitar lokasi ladang gas. “Saya yakin pemanfaatan ladang gas abadi Masela akan memperhatikan dampaknya pada pembangunan ekonomi kawasan Indonesia Timur, khususnya Maluku dan sekitarnya. Ia juga harus mampu memberi multiplier effect seluas-luasnya, baik dalam hal penyerapan tenaga kerja, penyerapan tingkat kandungan lokal, transfer teknologi, maupun pembangunan industri petrokimia dan lainnya,” kata Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli. Onshore lebih murah Perbincangan seputar Blok Masela memang nyaris tidak bisa lepas dari hitung-hitungan biaya teknis pembangunan kilangnya. Terlebih lagi ada usaha-usaha sementara pihak yang menggiring opini, seolah-olah biaya kilang floating  lebih murah daripada kilang darat. Pihak-pihak itu, dengan segala sumber daya yang dimiliki, menyatakan bahwa biaya pembangunan kilang apung ‘hanya’ US$14,8 miliar. Sementara itu, biaya untuk pembangunan kilang darat mencapai US$19,3 miliar. Namun, apakah angka-angka ini valid? Dari mana mereka bisa menyorongkan angka-angka tersebut? Faktanya, teknologi kilang apung hingga kini belum proven. Di dunia baru satu proyek pembangunannya, yaitu kilang apung Prelude, Australia, itu pun dengan kapasitas hanya 3,6 juta ton/tahun. Jumlah ini jauh lebih kecil daripada Masela yang mencapai 7,5 juta ton/tahun. Mereka berusaha menimbulkan kesan biaya pembangunan kilang apung lebih murah dari yang sebenarnya. Sebaliknya, pembuatan kilang darat dibuat seolah-olah lebih mahal. Caranya, pada hitung-hitungan biaya FLNG Plant, mereka mengkonversi ke dalam dolar Australia, yaitu sebesar US$2,65 miliar/mtpa. Sedangkan untuk onshore, mereka menggunakan denominasi dolar Amerika yang sebesar US$3,5 miliar/mtpa. Dengan cara ini, maka wajar jika  biaya kilang darat seolah-olah menjadi lebih mahal daripada kilang apung. Padahal, dengan menggunakan asumsi biaya riil pembangunan kilang FLNG Prelude yang US$3,5 miliar/mtpa, maka perkiraan pembangunan floating  LNG Masela mencapai US$22 miliar. Sebaliknya, berbekal asumsi biaya riil sejumlah kilang LNG darat yang ada (Arun, Bontang, Tangguh, dan Donggi), perkiraan biaya LNG darat Masela di Pulau Selaru (sekitar 90 km dari blok Masela) hanya US$16 miliar. Jumlah ini sudah termasuk biaya pembangunan jalur pipa ke darat. Bicara soal biaya, satu hal yang harus disadari, bahwa pada akhirnya semua biaya tersebut akan dibayar negara melalui mekanisme cost recovery. Pada titik ini menjadi jelas, bahwa sejatinya semuanya tergantung pada negara; apakah ingin membangun kilang darat atau kilang apung. Berbeda halnya bila seluruh biaya murni menjadi tanggungjawab kontraktor, maka perdebatan soal pilihan pembangunan kilang darat atau apung masih terbuka lebar. Pembangunan kawasan  “Jadi, jelas bahwa selama ini ada manipulasi atau pelintiran data, sehingga seolah-olah biaya kilang apung lebih murah dibandingkan biaya kilang darat. Manipulasi itu bersumber dari data-data yang dipasok Shell yang merupakan calon operator sekaligus vendor pembangunan kilang, jika jadi di laut,” ujar Rizal Ramli. Sayangnya, para pejabat kita justru menelan mentah-mentah data yang disodorkan itu. Berbekal data tersebut, mereka bahkan ikut secara aktif dan gencar mengampanyekan perlunya pembangunan kilang apung. Padahal jelas-jelas, Presiden mengarahkan agar pemanfaatan blok gas Masela juga memperhatikan pembangunan kawasan, khususnya Maluku dan Indonesia Timur pada umumnya. Pemerintah sebagai pemegang amanah kekuasaan yang diberikan rakyat, tentu juga memperhatikan aspirasi rakyatnya. Pada konteks Masela, masyarakat dan tokoh-tokoh Maluku menghendaki pembangunan kilang dilakukan di darat. Pertimbangannya, mereka juga menginginkan manfaat sosial dan ekonomi dari pemanfaatan sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Sebelum merdeka, Maluku memiliki SDM yang bagus dengan tingkat kesehatan dan pendidikan yang maju. Namun ironis, setelah 70 tahun justru Maluku menjadi provinsi termiskin keempat. Ini sungguh ironis, karena Maluku memiliki 25 blok migas dan kemungkinan akan terus bermunculan. Untuk itu, pengelolaan migas harus diubah sehingga rakyat mendapatkan manfaat, industri bertumbuh, dan kesejahteraan membaik. Dengan adanya unit pengolahan gas di Pulau Selaru (sekitar 90 km dari Masela), tentu terbuka lapangan kerja bagi penduduk lokal. Kondisi ini dapat meningkatkan pengembangan wilayah sekitarnya menjadi kawasan downstream industry. Industri pupuk, petrokimia, gas untuk bahan bakar dan produk substitusi lainnya  adalah beberapa di antaranya yang bakal lahir. Dampak ikutan lainnya, Selaru dan pulau-pulau sekitarnya akan hidup dan ramai oleh kapal-kapal dan penerbangan dari berbagai wilayah yang akan ramai pulang-pergi ke sana. Tak pelak lagi, dibutuhkan lapangan terbang baru. Pada gilirannya Selaru benar-benar menjadi kota sibuk yang memberikan manfaat ekonomi bagi penduduknya. “Maka akan lahir kota Balikpapan atau Bontang baru. Kondisi ini akan menciptakan lapangan kerja yang sangat berarti bagi rakyat di kawasan itu. Ini adalah salah satu contoh dari multiplier effect yang bisa langsung dirasakan. Bahkan bukan mustahil, dalam 10 tahun  Selaru bakal menyalip Bontang dan Balikpapan,” kata Menko Rizal Ramli. Masih ada keuntungan lain. Jika dalam perjalanannya  kelak ditemukan cadangan-cadangan gas baru antara Masela dan Selaru, pemerintah tidak perlu menggelontoran duit besar lagi untuk memanfaatkannya. Kelak tinggal menyambungkan pada jaringan pipa yang sudah ada. Di atas semua itu, dengan pembangunan kilang darat dan pipanisasi, berarti negara benar-benar berusaha memakmurkan rakyat Indonesia, khususnya yang ada di kawasan Indonesia Timur. Alur seperti ini sekaligus klop dengan konsep Tol Laut-nya Presiden Jokowi. Semua benefit tersebut mustahil terwujud bila yang dipilih adalah pembangunan fasilitas LNG terapung. Seperti  disebutkan di depan, teknologi kilang apung ini dikuasi atau dimiliki Shell. Kandungan lokalnya tidak banyak, paling banter hanya 10%. Angka ini sudah meliputi bahan baku, teknologi, juga sumber daya manusia (SDM). Lagi pula,  LNG terapung yang diinginkan Kementerian ESDM dan SKK Migas belum teruji. Teknologi ini baru akan beroperasi untuk pertama kali di blok Prelude, Australia, nanti, pada 2017. Argumen teknis yang ngawur Meski begitu banyak manfaat yang bisa diraih dari pembangunan kilang darat, faktanya mereka yang mengehendaki kilang apung sepertinya tetap tidak  mau menerima. Mereka kembali meneruskan serangan-serangan. Kali ini, pihak-pihak itu menggunakan berbagai argumen teknis. Antara lain, di selatan Maluku banyak gempa, ada palung yang dalam, kandungan wax (lillin) pada gas yang merepotkan dalam pipanisasi, dan tingginya arus bawah laut yang bisa membahayakan jaringan pipa. Berbagai argumen teknis ini seolah-olah benar adanya. Namun di mata para ahli yang paham betul teknologi migas, semuanya justru menjadi lelucon belaka. Soal di bagian selatan Maluku yang disebut-sebut banyak gempa, misalnya. Data sesimotektonik dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang ada justru menunjukkan, selama 200 tahun terakhir kawasan itu sama sekali tidak mengalami gempa. Gempa memang terjadi, tapi itu lokasinya di bagian tengah dan utara Maluku Begitu juga dengan adanya palung dalam yang menyulitkan jaringan pipa bawah laut. Data yang ada menunjukkan kemiringannya hanya 2-3 derajat saja. Menurut kontraktor INPEX, guna mengatasi kandungan wax pada gas lapangan Masela dibutuhkan biaya yang sangat besar. Akibatnya biaya investasi skenario Kilang LNG darat menjadi lebih mahal karena harus menyediakan Floating  Production Storage and Offloading (FPSO). Benarkah demkian? Tidak.  Kadar lilin  hanya dikandung hidrokarbon fasa fluida (minyak bumi). Kalaupun produksi lapangan Abadi mengandung mengandung wax, maka secara teknis akan dipisahkan dan ditampung di fasilitas produksi atau FPSO. Hasil produksi minyak di lapangan lepas pantai, akan dipindahkan ke tanker dan dibawa ke kilang minyak untuk diolah. Sedangkan gas yang sudah bersih atau disebut  sebagai  lean gas dialirkan melalui jalur pipa ke darat. Bagaimana dengan derasnya arus bawah laut yang katanya akan menganggu jaringan pipa? Ini juga argumen teknis yang mengada-ada. Di laut utara (North Sea), banyak jaringan pipa minyak dan gas di bawah laut. Padahal arusnya sangat tinggi. Toh selama ini aman-aman saja. Begitu juga dengan perairan laut dalam Aljazair. Sejauh ini semuanya baik-baik saja. Risiko kilang apung Kepada mereka yang ngotot menghendaki pembangunan Floating  LNG, baiknya mau bersikap lebih jujur dan berhati bersih. Sejumlah argumen dan dalih untuk mendukung FLNG terbukti mengada-ada dan bisa dipatahkan. Sebaliknya, beberapa fakta justru menunjukkan FLNG menyimpan banyak risiko. Antara lain, hingga kini di dunia belum ada FLNG yang beroperasi. Satu-satunya poryek FLNG yang tengah dikerjakan adalah di Prelude, Australia, itu pun dengan kapasitas hanya 3,6 juta ton/tahun. Sedangan di Masela, kapasitasnya mencapai 7,5 juta ton/tahun. Hingga kini belum ada referensi biaya pembangunan FLNG. Ini artinya ada ketidakpastian dalam proses penyelesaian pembangunannya. Bukan mustahil angkanya terus membengkak seiring dengan berbagai ketidakpastian tersebut. Lagi pula, karena teknologinya belum proven, semestinya pembangunan FLNG Masela masih harus menunggu keberhasilan FLNG Prelude  sebagai benchmark atau acuan. Bila secara oeprasional FLNG Prelude tidak running well, bukan mustahil proyek FLNG Masela dibatalkan.  Sebaliknya, jika FLNG Prelude sukses, bukan serta-merta FLNG Masela bisa langsung dikebut. Pasalnya, ia masih membutuhkan kajian lebih lanjut karena perbedaan keduanya dari aspek ukuran dan volume produksi LNG, LPG, dan kondensatnya. Selain itu, kilang apung juga berisiko dalam keselamatan, stabilitas, dan keandalan operasi. Seperti diketahui, sebelum dialirkan ke kapal-kapal tanker pengangkut, gas tersebut dikompres dengan suhu rendah, hingga minus 160 derajat selsius. Kalau ada gempa atau ombak besar saat proses pemindahan ke tanker berlangsung, maka sulit menghindari terjadinya gesekan. Hal ini akan menimbulkan potensi kebakaran dahsyat. FLNG Plant hanya cocok untuk ladang-ladang gas dengan cadangan kecil dan jauh dari darat alias marjinal. Satu lagi, umumnya semua proyek hulu Migas sebelum dan setelah selesai dibangun harus diasuransikan.  Ini yang terjadi pada kilang Bontang dan lainnya. Bagaimana dengan kilang FLNG Masela? Karena hingga kini belum ada kilang sejenis yang beroperasi, maka belum ada perusahaan asuransi yag berani menanggung risikonya. Dengan berbagai kelemahan dan risiko tersebut, masihkah kita akan memanfaatkan ladang gas Masela dengan membangun kilang apung? Pada saat yang sama, begitu banyak benefit yang bisa diraih jika pembangunannya dilakukan dengan mengguakan kilang darat. Yang perlu diketahui,  konsultan Poten & Partner adalah konsultan yang disewa Shell pada pembangunan FLNG di Prelude, Australia. Dengan latar belakang seperti ini, independensi Poten jadi sangat diragukan. Dia akan berusaha menyenangkan dan menguntungkan Shell. Lagi pula, Presiden sudah memberi arahan agar pemanfaatan gas bumi tidak hanya dijadikan sumber pemasukan dalam bentuk devisa. Gas juga harus dilihat sebagai sarana penggerak ekonomi, baik secara nasional maupun, terutama, di daerah sekitar lokasi ladang gas. Masih mau ngotot dengan kilang apung? (*)   Humas Kemenko  MARITIM DAN SUMBER DAYA RI