Gelar Ruwatan Bumi, Bentuk Spirit Bagi Negara-Negara G20

Gelar Ruwatan Bumi, Bentuk Spirit Bagi Negara-Negara G20

Marves - Magelang, 

rangkaian kidung dan doa dikumandangkan malam itu menambah kesakralan acara yang bertajuk Ruwatan Bumi atau Ruwatan Nusantara. Dipandu oleh 27 tetua adat berbagai ritual dan doa dari Sabang sampai Merauke, menggambarkan hubungan harmonis manusia, alam dan pencipta.

 

Suasana senyap tampak sepanjang ruwatan bumi ini berlangsung, menambah kemagisan acara yang dihadiri berbagai negara-negara G20, masyarakat, tokoh adat, dan pemerintahan. Ruwatan bumi menjadi momen kebudayaan yang sangat berkesan dalam menutup rangkaian Pertemuan Tingkat Menteri Kebudayaan atau Culture Ministers Meeting (CMM) negara G20 di Taman Lumbini, Kompleks Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Selasa (13/9/22) malam.

 

Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek RI, Hilmar Farid mengatakan ruwatan bumi diadakan sebagai ucapan syukur bahwa kita bisa keluar dari pandemi. Hal lain juga untuk menunjukkan bahwa kebudayaan

 

"Latar belakang dari kegiatan ini adalah untuk mengucapkan rasa syukur bisa melewati pandemi. Selain itu kita menyampaikan pesan untuk menjaga bumi dan melestarikan bumi. Semoga kebudayaan bisa berkontribusi pada kelestarian bumi," kata Hilmar dalam jumpa pers di Legend Coffee, Yogyakarta, Minggu 10/10/22.

 

Tema yang dipilih tentang “Kebudayaan Untuk Bumi Lestari” mengandung pesan kuat untuk dunia, berharap dengan kebudayaan bisa tetap melestarikan bumi. Menurut Hilmar, berkumpulnya para pemangku adat dan penghayat kepercayaan, memastikan bahwa keadaan sekarang ini usai pandemi dapat pulih kembali dilakukan dalam kearifan lokal. 

 

"Jangan sampai kearifan yang sudah mulai agak pudar itu, hilang tak bersisa. Untuk itu ruwatan bumi ini lebih dibuat kontemporer budaya sebagai manifestasi kebudayaan tanah air. Jadi lebih tepatnya pada Ruwatan Nusantara," kata dia.

 

"Bumi kita ini telah mengalami banyak masalah, bisa bertahan hingga sekarang mungkin karena kearifan-kearifan yang sejatinya telah membimbing masyarakat kita selama puluhan bahkan ratusan tahun," Hilmar menambahkan.

 

Kearifan lokal yang dimiliki Indonesia, memang memiliki ciri khas dari setiap daerah yang berbeda. Tentu banyak ritual adat yang dimiliki masing-masing daerah untuk menghormati leluhur dan alam. Kekayaan ini yang harus dipertahankan dan dilestarikan agar dapat menjadi nilai jual bagi bangsa.

 

Seperti yang dituturkan oleh Wagub DIY Paku Alam X tentang makna ruwatan bagi masyarakat Jawa. Tradisi ini masih terjaga dengan baik dan masih sering dilakukan sebagai bentuk perlindungan dan keselamatan dari segala macam bencana atau masalah.

 

"Dalam tradisi Jawa, ruwatan merupakan bagian utama dari prosesi slametan. Memohon lindungan Tuhan agar segala sesuatu terlaksana tercapai dengan selamat," kata Paku Alam menjelaskan makna historis ruwatan.

 

Makna slametan, yang disajikan dalam beragam ubarampe-nya, terkandung pesan agar jangan lupa memperhitungkan rasio input dan output yang optimal dan efisien. Raja Keraton Puro Pakualaman itu menambahkan, penyiapan unsur-unsur input, baik fisikal maupun metafisikal, baik kasat mata dan bisa di-kerta aji, maupun yang intangible, berupa brainware, aspek ekologi ataupun yang lainnya, dilakukan dengan harapan agar tidak menimbulkan korban. 

 

"Jadi tradisi selamatan dapat pula dipahami sebagai sistem peringatan dini, yang melekat dalam nilai-nilai budaya khususnya budaya Jawa, agar senantiasa selamat dan sentosa," imbuh dia.

 

Berkomunikasi Dengan Semesta.

 

Pada maknanya sebenarnya ruwatan bumi merupakan bentuk komunikasi yang dilakukan masyarakat pada semesta. Keinginan mendapatkan berkah dari Sang Pencipta, agar bumi senantiasa dijauhkan dari marabahaya dan penyakit. Beberapa daerah di Indonesia masih memelihara dengan baik tradisi ini dengan kuat dengan berbagai bentuk ritual berbeda-beda yang dilakukan.

 

Kekuatan dialog pada semesta ini, dipercaya dapat mewujudkan kehidupan Bumi senantiasa damai dan jauh dari kekacauan. Upacara adat ini semacam ruwatan bumi ini juga dilakukan oleh masyarakat adat Bengkayang, Kalimantan Timur. Salah satu upacara yang  digelar oleh masyarakat Dayak belum lama dalam mengusir pandemi Covid-19 tidak meluas di wilayahnya adalah Pantabakng Binua.

 

Upacara ini merupakan upaya masyarakat Dayak melindungi kampungnya dari penyakit dan bencana. Ruwatan bumi ini dapat difungsikan sebagai filter mencegah Shock Culture yang melanda masyarakat sekarang ini. Apabila hal ini terus dipelihara dengan baik menjadi pesona bagi Indonesia dibandingkan negara lain.

 

Biasanya ruwatan bumi diawali dengan prosesi arak-arakan atau parade dengan membawa berbagai hasil bumi dan sesaji dengan menggunakan kereta kuda atau berjalan kaki. Pemimpin adat akan memandu prosesi tersebut sambil merapalkan doa atau mantra.