Hadapi Isu Krisis Air, Indonesia Perkuat Kolaborasi Antar Pemerintah Jelang WWF ke-10

Hadapi Isu Krisis Air, Indonesia Perkuat Kolaborasi Antar Pemerintah Jelang WWF ke-10

Marves - Jakarta, Isu krisis air saat ini menjadi pembahasan dunia global yang harus dicarikan solusi bersama. Dalam kaitannya dengan World Water Forum, perubahan Iklim tentu berdampak pada ketersedian Sumber Daya Air (SDA), sehingga Indonesia perlu menggaungkan aksi bersama untuk mengendalikannya.

Hal tersebut disampaikan oleh Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan BRIN Mego Pinandito pada konferensi pers bertajuk "Riset dan Inovasi Solusi Krisis Air" yang digelar secara daring Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) di Jakarta, Rabu (13/3/2024).

dirinya menyampaikan bahwa Indonesia bisa mendorong aksi nasional yang telah dilakukan dan menjadi contoh pada World Water Forum ke 10 nanti, dimana pemerintah bersama para pihak termasuk masyarakat telah memulainya. Pendekatan sinergi dilakukan melalui pengembangan wilayah atau tata ruang, pembangunan sektoral, penguatan inisiasi komunitas, dan bisnis hijau.

"Pengendalian perubahan iklim didukung kolaborasi antara pemerintah, swasta dan juga masyarakat untuk membantu pengelolaan sumber daya air yang lebih efektif," terang Mego.

Aksi sinergi dan kolaborasi akan meningkatkan manajemen prasarana sumber daya air dalam rangka mendukung penyediaan air dan ketahanan pangan. Kemudian disaster risk management banjir, tanah longsor, dan kekeringan yang semakin terukur. Lalu meningkatkan manajemen dan pengembangan prasarana sumber daya air untuk pengendalian daya rusak air.

Mego pun mengakui jika di Indonesia perubahan iklim ini terus menampakkan dampaknya dimana suhu yang terus meningkat sebesar 0,3 derajat celcius dengan curah hujan yang juga terus menurun setiap tahun sebesar 2% – 3%.

“Musim penghujan menjadi lebih pendek dan sebaliknya musim kemarau perlahan-lahan menjadi lebih panjang. Perubahan ini tentu berdampak pada proses hidrologi dan sumber daya air, perubahan siklus air, kenaikan suhu bumi, kenaikan muka air, dan terjadinya iklim ekstrim,” ujarnya.

Mego pun menegaskan jika mengatasi krisis air harus dilakukan bersama-sama, sinergi dan kolaborasi berbagai lembaga terkait. “Perubahan iklim menimbulkan efek yang sangat besar bagi pembangunan dan keamanan manusia,” katanya.

Namun, yang terpenting adalah mampu pendorong kesadaran dan peran serta masyarakat tentang penyelamatan air, serta ketersediaan dan akses terhadap data dan informasi terkait dampak perubahan iklim.
“Intinya memang mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air menjadi sangat penting dan harus dikuatkan,” ujar Mego.

Langkah tersebut akan mampu menginventarisasi tempat pengambilan air baku untuk air minum di sungai (intake) dan daerah irigasi yang terkena dampak kenaikan muka air laut dan upaya-upaya penanganannya. Kemudian secara berkesinambungan akan memperbaiki jaringan hidrologi di tiap wilayah sungai sebagai pendeteksi perubahan ketersediaan air maupun sebagai perangkat pengelolaan air dan sumber air.

“Dengan mitigasi dan adaptasi akan menginventarisasi daerah aliran sungai (DAS) yang mengalami pencemaran namun tingkat penggunaan airnya sangat tinggi untuk ditentukan prioritas penanganannya. Yang paling penting adalah melanjutkan gerakan hemat air untuk segala keperluan air minum, domestik, pertanian, industri, pembangkit listrik, dan sebagainya,” ujar Mego.

Pada kesempatan tersebut, Mego pun berharap daerah di Indonesia bahkan dunia bisa melihat pengelolaan SDA berbasis masyarakat yang dilakukan di Bali dengan sistem Subak.

Sistem pengairan dengan Subak berkembang dalam pengaruh nilai agama Hindu dan suatu kearifan lokal. Petani dapat hidup serasi dengan alam agar memperoleh hasil panen optimal. Pola pertanian sesuai lanskap Bali, terutama dalam penciptaan sawah berundak-undak. Masyarakat mengelola pengairan lahan pertanian sesuai kondisi kontur daerah, dengan cara membuat terasering di lereng bukit dan menggali kanal untuk mengairi lahan, sehingga memungkinkan mereka untuk menanam padi.

“Sistem ini dapat diterapkan di daerah manapun dengan penyesuaian kearifan lokal yang ada, dan bisa diperkuat dengan pemanfaatan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kemampuan dan budaya masyarakatnya,” pungkas Mego.

No.SP-59/HUM/ROKOM/SET.MARVES/III/2024
Biro Komunikasi
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi