Kemenko Maritim Bahas Permasalahan Pembangunan PLTMH di Hutan Lindung Malang pada Kawasan Hutan Perum Perhutani

Kemenko Maritim Bahas Permasalahan Pembangunan PLTMH di Hutan Lindung Malang pada Kawasan Hutan Perum Perhutani
Jakarta- Asisten Deputi Sumber Daya Mineral, Energi dan Non Konvensional Kemenko Maritim, Amalyos memimpin rapat mengenai permasalahan besarnya pungutan sumber daya air dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) di Hutan Lindung pada kawasan Perum Perhutani- Kabupaten Malang, Kamis (06/04). Pembangunan PLMTH dengan kapasitas 4 MW rencananya akan dilakukan oleh PT.Sapta Persada Energi. “Rapat didasarkan atas surat permohonan fasilitasi dari PT. Sapta Persada Energi terkait adanya permasalahan besarnya tarif atau pungutan atas sumber daya air yang akan dimanfaatan untuk PLTMH dan rakor ini juga merupakan tindaklanjut dari rakor yang sebelumnya telah dilaksanakan dan difasilitasi oleh BKPM pada tanggal 7 Maret 2017”kata Amalyos di Ruang Rapat Lantai 8 Kemenko Maritim, Kamis (06/04). Amalyos memaparkan, sesuai penyampaian dari pihak PT. Sapta Persada Energia, tarif atau pungutan sumber daya air tersebut antara lain meliputi : biaya jasa pengelolaan sumber daya air kepada Perum Jasa Tirta 1, Kompensasi kepada Perum Perhutani karena rencana lokasi pembangunan PLTMH berada di dalam kawasan pengelolaan Perum Perhutani dengan fungsi hutan lindung, serta Retribusi air ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur. “Jadi kita ingin mengetahui sekaligus menginventarisir kebijakan pengusahaan air dalam wilayah DAS Brantas, mengetahui kebijakan pemanfaatan energi air bilamana lokasinya berada di kawasan hutan, khususnya hutan lindung dan untuk mengetahui kebijakan pengusahaan air yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur, serta juga untuk mengetahui kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dalam rangka mendorong pemanfaatan sumber-sumber energi baru dan terbarukan yang ditujukan untuk penyediaan tenaga listrik,”ujarnya. “Poin-Poin Penting Surat PT. Sapta Persada Energi Nomor 007/SPE/III/2017, 22 Maret 2017, bahwa mereka ingin mendapatkan kepastian hukum terkait pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya air untuk energi (institusi yang berwenang menerbitkan ijin, perbedaan besaran biaya atau pungutan setiap instansi),” tambahnya. Hal lain yang juga menjadi bahan diskusi dan pembahasan dan muncul pada rakor ini, lanjut Amalyos, adalah terkait adanya kebijakan baru dari Menteri ESDM melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Pihak PT. Sapta Persada Energi merasa bahwa penghitungan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Tenaga Listrik di Pembangkitan Setempat tidak memperhitungkan beban biaya untuk pungutan sumber daya air. PT. Sapta Persada Energi menyampaikan usulan agar beban biaya atau pungutan pemanfaatan air untuk energi dapat diperhitungkan sebagai biaya tambahan atas BPP yang ditetapkan oleh Menteri ESDM. “Oleh sebab itu, kita dudukkan dahulu permasalahannya, dengan harapan kita bisa secara clear mengindentifikasi kondisi dan permasalahan investasi di sub-sektor energi terbarukan, khususnya energi air, terdatanya kebijakan-kebijakan terkait pengusahaan dan pemanfaatan sumber daya air, dan diharapkan akan diperolehnya kesepahaman bersama dalam menerapkan kebijakan terkait pengusahaan dan pemanfaatan sumber daya air,”ungkapnya. “Selain itu agar adanya kepastian hukum terkait biaya atau pungutan terhadap pengusahaan dan pemanfaatan sumber daya air, sehingga tidak adanya rangkap biaya atau pungutan terhadap pengusahaan dan pemanfaatan sumber daya air, adanya pemahaman bersama terkait penetapan Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik di Pembangkitan Setempat, sehingga diperolehnya rekomendasi konkrit terkait penyelesaian atas adanya perbedaan besaran biaya atau pungutan yang diterapkan oleh setiap instansi (Pusat & Daerah), serta implementasi Permen ESDM No. 12 tahun 2017 ,” pungkasnya. Rakor ini sebagai langkah awal bagi kami dalam memetakan permasalahan ataupun kendala yang saat ini dihadapi oleh para pelaku usaha yang berminat di sektor penyediaan energi dari sumber-sumber energi baru dan terbaharukan (EBT). Setelah ini kami akan mencoba memfasilitasi lebih lanjut dalam Forum FGD dengan melibatkan semua para pelaku usaha di sektor energi dari sumber-sumber EBT yang menurut Pak Surya Darma, Ketua Masyarakat Energi Terbaharukan Indonesia (METI), saat ini jumlahnya sudah hampir mencapai 100-an, dengan harapan akan kita dapatkan solusi atau jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku usaha tersebut. Menanggapi Permen ESDM No. 12 tahun 2017, Direktur Pembinaan Ketenagalistrikan Alihuddin Sitompul memaparkan beberapa kebijakan ESDM mengenai harga pembelian tenaga listrik (energi terbarukan), antara lain, maksimal 85% BPP Pembangkit setempat jika BPP setempat di atas rata-rata BPP Pembangkitan Nasional, 100% BPP Pembangkitan setempat jika BPP setempat kurang dari atau sama dengan rata-rata BPP Pembangkit Nasional, serta maksimal 100% BPP Pembangkit setempat, jika BPP setempat di atas rata-rata BPP Pembangkitan Nasional. “Dan berdasarkan kesepakatan, jika BPP Pembangkitan di Wilayah Sumatera, Jawa, Bali atau wilayah ketenagalistrikan setempat lebih kecil atau sama dengan rata-rata BPP Pembangkitan Nasional,” pungkasnya. Selain pihak ESDM, dalam rapat ini hadir pula perwakilan dari Kementerian PUPR, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Perusahaan Listrik Negara (PLN), Perum Jasa Tirta I, Perum Perhutani, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Timur serta Kementerian atau Lembaga terkait lainnya.