Kemenko Maritim Siapkan Solusi Atasi Kelangkaan Garam
Maritim – Jakarta, Indonesia sebagai negara kepulauan adalah salah satu negara produsen garam. Namun, ketimpangan antara jumlah produksi garam nasional dan kebutuhan akan garam masih belum seimbang. Salah satu solusi untuk memenuhi produksi garam nasonal adalah ekstensifikasi tambak garam. Hal ini disampaikan oleh Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Agung Kuswandono di Kantor Kemenko Maritim, Kamis (27/7/2017).
Deputi Agung menuturkan, produksi garam rakyat sangatlah tergantung dengan cuaca. Jika cuaca di sentra produksi garam tersebut sedang hujan, maka produksi garam akan tersendat kalau hal tersebut terus berlangsung, akan berakibat pada terjadinya penurunan produksi dan bahkan terjadinya kelangkaan garam secara nasional. “Pada tahun 2015, mayoritas daerah yang merupakan sentra produksi garam mengalami musim kemarau sehingga produksi garam melimpah. Sedangkan, pada tahun 2016 dan tahun 2017 intensitas hujan tinggi sehingga produksi garam anjlok,” ujar Agung dalam wawancara, "Istilahnya saat ini kita sedang mengalami musim kemarau yang basah".
Deputi Agung menyatakan, impor garam dapat menjadi solusi temporer untuk memenuhi kebutuhan garam nasional. Namun, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum kebijakan impor garam dilakukan. Diantaranya adalah memantau jumlah ketersediaan garam nasional. “Impor dilakukan ketika kebutuhan garam nasional tidak terpenuhi. Garam nasional diproduksi oleh rakyat, petambak garam. Masalahnya, terkadang garam ini disimpan di gudang mereka. Hal ini menyebabkan pemerintah tidak bisa memonitor secara langsung jumlah garam di rakyat. Yang bisa dimonitor hanya yang ada di PT Garam (Persero),” kata Deputi Agung.
Deputi Agung menyatakan pula, garam yang diimpor adalah garam industri, bukan garam konsumsi. Selain itu, pihak yang terlibat dalam kebijakan impor garam adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian.
“Menurut UU Nomor 7 Tahun 2016, yang memberikan rekomendasi impor garam konsumsi adalah Menteri KKP. Sedangkan, impor garam industri dimintakan pertimbangannya dari Menteri Perindustrian oleh Menteri Perdagangan,” tutur Deputi Agung.
Namun, masalah yang timbul dari pembagian pemberian rekomendasi/pertimbangan impor garam adalah masih berbedanya data produksi garam antara K/L (Kementerian dan Lembaga). Untuk itu, Deputi Agung mengatakan Kemenko Maritim telah meminta Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mendata jumlah produksi garam serta penyusunan neraca garam.nasional “Nantinya, Kemenko Maritim menghimbau agar K/ L terkait dapat menggunakan data dari BPS untuk mengetahui jumlah produksi garam. Namun sebelum data BPS terkumpul, Kemenko Maritim menghimbau untuk K/L terkait dapat melakukan sinkronisasi data,” kata Deputi Agung.
Untuk mengatasi kelangkaan garam dalam jangka panjang, saat ini pemerintah sedang mengupayakan penambahan jumlah lahan garam di seluruh Indonesia. Sehingga daerah-daerah yang memiliki tambak garam, nantinya dapat menyangga produksi garam nasional. “Saat ini, produsen garam nasional ada di Jawa Timur, Pantai Utara Jawa Tengah, dan beberapa titik di Sumatera. Dalam rangka ekstensifikasi, saat ini pemerintah sedang berupaya mengembangkan tambak garam di Bipolo, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selain NTT, pengembangan tambak garam juga dilakukan di Bima dan Jeneponto,” tutur Deputi Agung.
Deputi Agung memiliki harapan yang besar dari upaya-upaya yang sedang dilakukan untuk memperbaiki produksi garam nasional. Hal ini karena besarnya potensi Indonesia untuk pengembangan sektor produksi garam. “Adanya ekstensifikasi garam dapat mengatasi kelangkaan garam akibat perubahan cuaca yang tidak menentu. Selain itu, saya berharap Indonesia juga dapat menjadi eksportir garam,” pungkas Deputi Agung.***