Kemenko Marves Tekankan Komitmen Percepat Ratifikasi Konvensi ILO No. 188 Guna Lindungi Awak Kapal Perikanan
Marves—Bogor, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi melalui Asisten Deputi Hukum dan Perjanjian Maritim Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi mengadakan Rapat Koordinasi Tindak Lanjut Persiapan Pengesahan Konvensi International Labour Organization No. 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (Work in Fishing) yang disahkan pada 14 Juni 2007 di Bogor, Jawa Barat pada hari Selasa, 14 Juli 2020. Plt. Asisten Deputi Hukum dan Perjanjian Maritim, Nixson Silalahi menyampaikan bahwa Pemerintah berkomitmen untuk melindungi awak kapal perikanan dengan mempercepat ratifikasi konvensi ILO No. 188 tahun 2007 ini.
"Ini menjadi catatan buat kita bersama, memang kita belum meratifikasi, tapi kita punya hak untuk implementasi muatan konvensi tersebut, kalau ada perlakuan yang tidak manusiawi atau perlakuan buruk kepada ABK, negara punya hak untuk penegakan hukum. Konvensi ILO ini di samping mengatur tanggung jawab pemilik kapal penangkap ikan, nahkoda, dan awak kapal, terdapat hak negara anggota untuk perlindungan ABK Kapal perikanan dan penegakan hukum-hukum atas pelanggaran hak-hak ABK, sehingga konvensi ini perlu segera diratifikasi," kata Plt. Asdep, Nixson Silalahi.
Tujuan dari konvensi ini adalah memastikan bahwa awak kapal mempunyai kondisi kerja yang layak di kapal penangkap ikan dalam hal persyaratan minimal untuk bekerja di kapal; persyaratan layanan; akomodasi dan makanan; perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja; perawatan kesehatan dan jaminan sosial.
Pada tahun 2017, Menteri Ketenagakerjaan saat itu, M. Hanif Dhakiri menegaskan komitmen pemerintah untuk meningkatkan perlindungan tenaga kerja termasuk di sektor perikanan laut. Dalam meningkatkan perlindungan tersebut, pemerintah mempertimbangkan untuk meratifikasi Konvensi ILO No.188/2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.
Kondisi saat ini, permasalahan ketenagakerjaan di sektor perikanan, khususnya di Indonesia tidak lepas dari maraknya praktik kerja informal, seperti hubungan kerja antara pemilik dengan anak buah kapal (ABK) tidak didasarkan pada kontrak kerja yang jelas. Oleh karena itu, sektor ini tidak memiliki sistem informasi pasar kerja, pelatihan, penempatan, pelindungan, dan pengupahan yang memadai.
"Jadi, ini menjadi catatan penting bagi kita bahwa pentingnya konvensi ILO ini karena kalau kita meratifikasi ini, kita memiliki hak dan kewajiban di mana syarat-syarat itu merupakan peran negara. Memang kita belum ratifikasi tapi kita sekarang sedang mengarah ke sana, kita lihat kewajiban dan agregat yang kita peroleh, alangkah baiknya jika kita melakukan ratifikasi," jelas Plt. Asdep Nixson Silalahi.
Sampai saat ini, terdapat 18 negara yang sudah meratifikasi Konvensi ILO No. 188 tahun 2007, yaitu Angola, Argentina, Bosnia and Herzegovina, Congo, Estonia, Prancis, Lithuania, Maroko, Namibia, Norwegia, Senegal, Afrika Selatan, Thailand dan Britania Raya. Sedangkan terdapat beberapa negara yang masih berstatus not in force, seperti Belanda, Polandia dan Portugal yang akan dimulai pada tahun 2020, serta Denmark yang akan dimulai tahun 2021.
Plt. Asdep Nixson mengatakan bahwa Indonesia sendiri pada tanggal 7 Mei 2019, telah menyepakati bahwa untuk saat itu belum siap untuk melakukan ratifikasi terhadap Konvensi ILO No. 188. Namun, akan dilakukan persiapan ratifikasi dengan optimalisasi pelaksanaan peraturan-peraturan nasional yang mengadopsi ketentuan dalam konvensi tersebut. Apalagi menurut catatan Kementerian Luar Negeri, selama tahun 2019 terdapat 1.096 kasus kekerasan dan perbudakan yang dialami ABK warga negara Indonesia (WNI).
Di samping itu, Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim Basiolio Araujo menyatakan harus ada bukti kepedulian negara terhadap para pekerja di sektor perikanan salah satunya melalui ratifikasi Konvensi ILO No. 188 ini. Indonesia perlu meratifikasi konvensi ini bukan karena mengikuti negara lain, namun itu merupakan kewajiban kita sebagai negara maritim dan untuk melindungi tenaga kerja kita.
"Kenapa kita perlu ratifikasi? Itu merupakan tanda bahwa negara peduli dan ingin melindungi tenaga kerja kita. Kita ingin menjual produk perikanan kita tanpa ada isu buruh paksa dan perbudakan. Kita gunakan konvensi ini untuk menekan negara konsumen untuk tidak menerima produk ikan dari negara pencuri ikan," kata Asdep Basilio.
Asdep Basilio menambahkan jika kita melakukan ratifikasi, akan ada prinsip no more favourable treatments, kita bisa menahan dan memeriksa semua kapan ikan yang mampir ke pelabuhan kita. Sehingga, Indonesia memiliki kontrol atas kapal-kapal yang merapat ke wilayah Indonesia.
Selain itu, Asdep Basilio menggarisbawahi bahwa saat ini Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak mengenal pelaut atau pekerja di atas kapal dan jam kerjanya tidak berlaku untuk pekerjaan di atas kapal (Pasal 77 Ayat 3). Bahkan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia salah menyebut nomenklatur Pelaut (Istilah Pelaut Awak Kapal/Pelaut Perikanan tidak dikenal dalam konvensi-konvensi internasional).
"Konvensi-Konvensi ILO tidak mengakui Pelaut sebagai Pekerja Migran. Saat ini prioritas Indonesia adalah memberantas praktek illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) tapi tidak diiringi dengan pengesahan konvensi/perjanjian internasional dan istilah fishing vessel diterjemahkan sebagai kapal penangkap ikan yang seharusnya kapal perikanan di mana fishing sebagai industri, bukan sebagai penangkapan," tambah Asdep Basilio.
Senada dengan Asdep Basilio, Direktur Penyiapan dan Pembekalan Pemberangkatan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Ahnas menyatakan jika kita ingin meratifikasi konvensi ILO No. 188 ini, berarti kita ada keinginan memberikan perlindungan secara maksimal kepada calon-calon pekerja, khususnya awak-awak perikanan.
"Dari sisi penempatan ABK Perikanan, memang belum terlibat dalam proses pelayanan penempatan jadi artinya ada hal yang mungkin nanti kita harus berpikir kepada pengembangan dalam rangka perlindungan awak kapal perikanan. Kita sudah melihat kasus-kasus yang terjadi, kita tidak boleh tinggal diam. Karena memang dalam aturan kita khusus mengatur bagaimana pelindungan dan penempatan pekerja migran Indonesia (PMI), itu juga ada peran-peran maksimal dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya masing-masing kementerian dan lembaga," kata Direktur Ahnas.
Kondisi dalam negeri saat ini masih belum bisa menampung semua pekerja, sehingga negara menjamin hak warga untuk memperoleh pekerjaan yang layak, baik di dalam negeri atau luar negeri. Direktur Ahnas menekankan, PMI harus dilindungi dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, kekerasan dan perlakuan lain yang melanggar HAM. Penempatan PMI merupakan upaya mewujudkan hak tenaga kerja mendapatkan pekerjaan sehingga negara wajib membenahi sistem pelindungan.
"Kalau memang dalam penempatan ABK perikanan ini belum memenuhi ayo kita bersama-sama benahi. Saat ini kita tengah menunggu rancangan peraturan pemerintah terkait perlindungan awak kapal niaga dan perikanan," katanya.
"Mudah-mudahan dengan pembenahan tata kelola ini kementerian/lembaga terkait bisa bersinergi dengan baik," tambah Direktur Ahnas.
Direktur Ahnas menjelaskan masih lemahnya tata kelola penangananan PMI, bahkan terkait penanganan ABK perikanan belum masuk dalam penanganan ketenagakerjaan, dan aturannya masih ikut ke Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal. Sedangkan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang diamanatkan untuk membuat aturan pelaksanaannya tidak menyeluruh dengan peran kementerian/lembaga terkait.
"Pasal-pasal dalam konvensi ILO menjadi acuan dalam rangka menyinergikan dan membagikan peran kepada kementerian/lembaga. Terima kasih Kemenko Marves telah menginisiasi kegiatan seperti ini. Sebelumnya juga Rakor dengan Menko untuk mendorong RPP pelaut dan perlindungan ABK. Ayo bagaimana kita melindungi warga negara jika tidak didorong seperti ini," kata Direktur Ahnas.
Sebagai penutup, Asdep Basilio menyampaikan untuk tidak mencampurkan ratifikasi konvensi ILO No. 188 dengan Maritime Labour Convention (MLC) Tahun 2006. Tidak mencampur aturan antara awak kapal perikanan dengan awak kapal niaga. "ILO sudah menerbitkan gap analysis terkait Konvensi ILO No. 188, diharapkan melalui gap analysis tersebut dapat dicermati bersama untuk menentukan langkah-langkah dalam identifikasi peraturan mana yang perlu diperbaiki," tutup Asdep Basilio.
Biro Komunikasi Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi
[gallery link="file" size="full" ids="49291,49290,49288,49289,49286"]