Kemenko Marves Terus Fokus Agar Microchip dan RFID Arwana Dapat Diproduksi di Dalam Negeri

Marves-Jakarta, Demi mendorong kemandirian industri Ikan Hias Arwana yang merupakan ikan hias bernilai jual tinggi khas Indonesia, khususnya dalam hal legalitas dan juga pemantauannya, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) terus fokus dalam hal tersebut.
Terkini, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves, Safri Burhanuddin, menginisiasi dan mengumpulkan berbagai pihak dalam rakor virtual bertajuk Pembangunan Industri Animal Microchip dan Radio Frequency Identification (RFID). Rakor tersebut di antaranya bertujuan untuk mengetahui perkembangan terkait hal tersebut dan juga yang lebih penting adalah untuk mengetahui berbagai hambatan dalam implementasinya di lapangan, langsung dari pihak yang berkompeten dan juga para pelaku usaha arwana.
“Info terbaru, saat ini untuk pengurusan masalah Arwana, sudah ditangani oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan dalam rangka pemantauan dan pengendalian peredarannya sesuai ketentuan yang berlaku maka dipasanglah microchip pada satwa ini. Saat ini para pelaku usaha arwana membeli piranti ini di pasaran yang umumnya dimpor dari negara lain. Dalam rakor ini saya juga ingin mengetahui, apakah piranti tersebut memang harus selalu didapatkan melalui impor?,” ujar Deputi Safri, Senin (06-07-2020).
Adapun, penggunaan microchip ini adalah sirkuit pengenal terintegrasi yang ditempatkan di bawah kulit fauna. Chip tersebut menggunakan teknologi RFID dan dikenal sebagai tag PIT (Passive Integrated Transponder). Ikan Arwana yang termasuk dalam satwa yang dilindungi, bilamana dalam peredarannya tanpa chip dapat berujung pada tindak pidana, karena hal itu telah diatur dalam Undang-undang, yakni UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Permenhut No P 19/Menhut-II/2005 dan Permen LHK No 20 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi. Faktanya, saat ini microchip untuk Ikan Arwana ini pun keseluruhannya masih diimpor dari negara lain.
“Saya kira piranti dan teknologi yang disematkan pada ikan ini tidak terlalu rumit, melihat potensinya, kembali saya tekankan, industri microchip dan RFID di dalam negeri ini perlu dikembangkan dan didorong,” imbuhnya.
Selain masih impor, seperti diungkapkan oleh pelaku usaha Ikan Arwana dari Kalimantan Selatan, PT Kresnapusaka Tirta Lestari, harga microchip di Indonesia masih terhitung tinggi, yaitu Rp 12.000 per/pcs, bandingkan dengan Tiongkok yang hanya separuhnya. Kemudian, juga proses impornya pun yang terbilang masih sulit, contoh, proses impor microchip yang perlu waktu sekitar 7 minggu dan belum tentu selesai tepat waktu, dan juga dengan perkembangan teknologi saat ini, piranti tersebut tidak lagi sepenuhnya berfungsi sebagai ID pengenal, dikarenakan ada teknologi penanda (tagging) lainnya yang sudah juga mulai dikembangkan.
Asisten Deputi Hilirisasi Sumber Daya Maritim, Amalyos lantas mengungkapkan berbagai pengalamannya dalam mendorong kemandirian nasional, dengan tujuan meningkatkan nilai keekonomian dan mengurangi impor.
“Memang ini sama halnya dengan pengalaman kami dalam mendorong pembangunan sarana dan prasarana pendukung industri perikanan yang juga saat ini masih impor, semisal kincir dan pompa air untuk tambak udang, akan tetapi dengan berlandaskan semangat nasional dan kepentingan nasional, kami mempunyai keyakinan melalui kolaborasi dan sinergi antara perguruan tinggi dan Badan Usaha Milik Negara, kita yakin sarpras tersebut bisa kita dorong untuk diproduksi di dalam negeri,” ujarnya.
Amalyos juga mengatakan, terkait dengan sarpras (sarana prasarana) penunjang untuk perikanan budidaya tersebut ditargetkan dalam 1 atau 2 minggu ke depan semua pihak terkait akan duduk bersama, membuat MoU, untuk membuat prototype yang hasilnya diharapkan lebih baik dari segi teknologi dan lebih murah dibanding barang impor yang ada di pasaran saat ini.
“Inisiasi awal untuk pembangunan dan pengembangam bagi microchip ini, saya kita rekan-rekan baik dari LIPI, BPPT, maupun LEN juga sudah sangat bersemangat agar sarana-prasarana ini bisa diproduksi di dalam negeri, karena memang banyak manfaatnya yang bisa kita terus kembangkan selain dari pemantauan peredaran satwa. Kita akan coba kumpulkan data terkait dengan kebutuhannya, dan kita perkuat komunikasi dan koordinasi dengan berbagai sektor. BPPT, LEN, dan juga LIPI siap mendukung penuh, bahkan LIPI sangat antusias untuk set-up awal untuk riset prototype nya,” pungkas Asdep Amalyos.
Bagian Humas, Biro Komunikasi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi