Ketahanan Pangan dari Lahan Kritis dan Terdegradasi
Marves - Pada bulan Juni 2020, Presiden Joko Widodo mencanangkan proyek Food Estate nasional untuk meningkatkan produksi pertanian dan ketahanan pangan bagi populasi Indonesia yang terus bertambah. Proyek ini akan fokus pada peningkatan hasil panen di lahan pertanian yang ada serta pengembangan lahan pertanian baru. Keberhasilan proyek ini untuk mencapai hasil produksi yang berkelanjutan masih dibayangi kegagalan program serupa di bawah pemerintahan sebelumnya. Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, lokasi awal pengembangan Food Estate diarahkan di lima lokasi, yakni di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, lokasi lumbung pangan baru ini direncanakan berada di lahan potensial seluas 165.000 Ha. Sementara di Sumatera Utara, pemerintah mencanangkan food estate sekitar 61.042 Ha, melingkupi empat kabupaten, yakni, Humbang Hasundutan, Pakpak Barat, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara.
Strategi penyediaan lahan untuk proyek Food Estate salah satunya dengan strategi Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan, KHKP (Peraturan Menteri LHK No 24/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate).
Alih fungsi hutan memiliki resiko memunculkan masalah baru. Alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan, pertanian, pemukiman dan pembangunan infrastruktur berdampak pada hilangnya habitat (habitat loss), pemecahan habitat (fragmentation) hingga penurunan kualitas habitat (habitat degradation). Pada akhirnya, ketiga dampak tersebut mengancam kelestarian keanekaragaman hayati. Selain itu perubahan area hutan menyebabkan perubahan area tangkapan hujan (rain catchment) menimbulkan bencana alam.
BBC News Indonesia memuat artikel pada tanggal 15 Maret 2023 tentang perkebunan singkong seluas 600 Ha mangkrak di Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Ditengarai kondisi tanah yang berpasir tidak cocok dengan tanaman singkong. Hutan di Gunung Mas, yang telah dijadikan perkebunan singkong menjadi gundul. Padahal hutan yang telah gundul itu letaknya berada di dataran tinggi dan berfungsi sebagai penyerap air hingga menyebabkan banjir di Desa Tewai Baru yang ada dibawah. Ketika hujan turun, air Sungai Tambun dan Tambi yang melintasi desa meluap.
Belajar dari Tiongkok
Belajar dari tantangan yang dihadapi pemerintah Tiongkok untuk ketahanan pangan warganya. Sebagai negara terpadat di dunia, pada tahun 2020, populasi Tiongkok mencapai 1,41 miliar - kira-kira sekitar seperenam dari 7,9 miliar penduduk dunia. Padahal lahan pertaniannya hanya 7% dari luas lahan pertanian global atau 12 juta Ha (world economy forum). Strategi Tiongkok untuk mengatasi kerawanan pangan adalah kampanye melawan pemborosan makanan dan meningkatkan luas lahan untuk bercocok tanam (ekstensifikasi) dan inovasi.
Salah satu inovasi Tiongkok yang dilaporkan dalam WEF adalah pengembangan “beras air laut” . Pengujian telah menunjukkan galur-galur ini – persilangan beras kualitas tinggi dan beras liar yang lebih tahan terhadap garam – menghasilkan kualitas yang lebih tinggi daripada varietas standar. strain beras ini dikembangkan oleh para ilmuwan untuk mendapatkan varietas beras yang dapat tumbuh subur di tanah asin dan basa dan berproduksi lebih banyak daripada varietas lain.
Diproyeksikan varietas ini akan meningkatkan produksi beras Tiongkok agar cukup untuk memberi makan 200 juta orang. Meskipun belum sepenuhnya diterapkan secara komersial, para ilmuwan di Qingdao Saline-Alkali Tolerant Rice Research and Development Center telah diberi tanggung jawab atas lahan seluas 400 ribu Ha untuk menanam padi. Pada tahun 2018, tim ilmuwan Tiongkok membawa tim ke Dubai untuk bereksperimen menanam “beras air laut” di padang pasir.
Alih-alih melakukan alih fungsi hutan, tantangan untuk pertanian Tiongkok adalah menyediakan pangan bagi banyak orang namun tetap melindungi lingkungan. Salah satunya melalui ekstensifikasi lahan, pada lahan kritis atau lahan yang sebelumnya tidak bisa dimanfaatkan untuk bercocok tanam, baik melalui rekayasa lahan, maupun rekayasa varietas tanaman.
Pemulihan Lahan Kritis Terdegradasi dan Ketahanan Pangan
Belajar dari Tiongkok, pemerintah perlu mempertimbangkan lokasi lahan untuk food estate dengan mengoptimalkan lahan-lahan terlantar, lahan kritis dan terdegradasi. Misalnya lahan ex pertambangan liar dan terlantar, eks hak guna usaha, eks perkebunan ilegal dan lain-lain. Perihal peta lahan kritis Indonesia, telah terbit Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dan Rehabilitasi Hutan Nomor SK.49/PDASRH/PPPDAS/DAS.0/12/2022 tentang Penetapan Peta Dan Data Lahan Kritis Nasional Tahun 2022. Luas Lahan Kritis Nasional Tahun 2022 adalah 12.744.925 Ha, dengan rincian dalam Kawasan Hutan seluas 7.410.751 Hektar, dan di luar Kawasan Hutan seluas 5.334.174 Ha. Peta dan Data Lahan Kritis Nasional Tahun 2022 sedianya menjadi acuan bagi Pemerintah dalam penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan.
Pemulihan lahan kritis sebagai lahan food estate terintegrasi perlu dioptimalkan dalam model closed loop circular economy. Dengan skema multiusaha kehutanan, izin berusaha dalam pemanfaatan kawasan dapat mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan pada satu bidang.
Pemulihan ex pertambangan liar terlantar, pertambangan liar dalam Kawasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) juga dapat memanfaatkan skema ini. Skema ini mengembalikan nilai ekonomi lahan kritis, menjadi ekonomi yang berkelanjutan. Praktisi circular economy memahami alur industri multi usaha kehutanan melakukan pemanfaatan limbah keluaran hingga terbangun ekosistem industry zero waste.
Dari pemulihan lahan kritis, pada tahap reklamasi ditanam kaliandra dan gamal dimana kayunya dapat dikelola menjadi wood chip/wood pellet sebagai campuran bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (co-firing). Bunganya untuk mengembangkan industri madu. Daunnya dijadikan pakan ternak. Limbah peternakan bisa diolah dari kompos untuk pembenahan lahan hingga biogas.
Lubang-lubang ex pertambangan liar dapat ditutup melalui pengelolaan fly ash bottom ash (FABA). Bila kualitas airnya dapat dipulihkan maka dapat menjadi pemasok air baku, mendukung kebutuhan pengairan dan perikanan juga pariwisata.
Ekosistem industri ini dapat dibangun tanpa melakukan alih fungsi hutan, melainkan melalui pemulihan lahan kritis terdegradasi. Model kemitraan antara pemerintah, BUMN, swasta dan masyarakat memungkinkan masyarakat bermitra dengan pengusaha pertambangan, pengusaha kehutanan. Kebijakan pemanfaatan melalui pemulihan lingkungan seperti inilah yang akan membantu mewujudkan ketahanan pangan yang sangat dibutuhkan di Indonesia. (FP)
Biro Komunikasi
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi
Art-20/HUM/ROKOM/SET.MARVES/VIII/2023