Mendorong Percepatan Pembangunan Fasilitas Pendukung Labuan Bajo

Mendorong Percepatan Pembangunan Fasilitas Pendukung Labuan Bajo
Maritim - Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo menetapkan Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk dikembangkan sebagai salah satu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) pada tahun 2016. Namun, hingga kini masih ada beberapa kendala yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Kendala-kendala tersebut terungkap dalam forum rapat koordinasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Pulau Kecil, Terisolir dan terluar di perairan Labuan Bajo, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dihadiri oleh pejabat kedeputian I Kemenko Kemaritiman Kamis belum lama ini. Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch. Dula, yang juga menghadiri rakor tersebut mengatakan bahwa banyaknya pulau menyebabkan sulitnya pengelolaan. “Kami punya 264 pulau dengan penduduk sebanyak 200 jiwa, bahkan pulau terkecil di Indonesia ada di kami, namun hanya 9 pulau saja yang sudah ditempati,” tuturnya di ruang rapat Pemkab Manggarai Barat. Selain masalah pengelolaan pulau, Manggarai Barat juga memiliki masalah keamanan laut yang tak kalah besar. Dalam kesempatan yang sama, Wahyudi Wicaksana , Kepala Sub Bidang Penegakan Hukum (Kasubdit Gakkum) Direktorat Polair Polda Nusa Tenggara Timur, menceritakan kendala yang dihadapi petugas di lapangan. “Polda NTT hanya memiliki 18 kapal patrol tipe C1 dan C2, sedangkan Kabupaten Manggarai Barat tidak memiliki Polair sehingga Polda membantu penyediaan dua kapal patrol yang mobile,” jelasnya. Padahal, kapal tipe C1 dan C2 menurut Wahyudi memiliki daya jangkau yang terbatas karena kapasitas bahan bakarnya yang kurang memadai. “Kalau kami harus berpatroli hingga ke wilayah ZEE yang berbatasan dengan Australia resikonya adalah kapal kami tidak akan bisa kembali ke markas karena sudah kehabisan bahan bakar,” terang polisi berpangkat AKPB itu. Padahal, menurutnya, wilayah cakupan yang menjadi wewenang Polda NTT sangat luas yakni sepanjang laut di Manggarai Barat-Alor, NTB hingga perbatasan perairan Timor Leste. Keterbatasan ini, menurut Wahyudi sangat tidak menguntungkan Manggarai secara khusus dan Indonesia secara umum. "Di lapangan kami sering menghadapi pencuri ikan, peledakan ikan dengan menggunakan bom yang merusak terumbu karang,” tambahnya. Hal ini diperparah dengan lebih canggihnya teknologi kapal yang dimiliki oleh pencuri-pencuri ikan yang kebanyakan merupakan warga negara asing. Setali tiga uang, kondisi serupa juga dialami oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Manggarai Barat. “Kapal patrol kami hanya muat untuk 3 hingga 4 petugas,”terang Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Mabar Fidelis Kerong. Dengan jumlah personil yang terbatas itu, menurutnya, tugas patroli perikanan di wilayah perairan Mabar menjadi tidak maksimal terutama bila harus mengangkap kapal pencuri ikan yang alatnya lebih canggih dan memiliki personil lebih banyak. Lebih jauh, di bidang infrastruktur Kabupaten Mabar juga menghadapi berbagai kendala baik di bandara, pelabuhan Labuan Bajo maupun wilayah kota kabupaten. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Mabar Theodoris Suardi menjelaskan bahwa saat ini kabupaten Mabar masih kekurangnya pasokan listrik sebanyak 19 Megawatt. Dan paling banyak, kapasitas pasokan tersebut hanya bisa ditambah sebanyak 10 Megawatt tahun depan. Efek yang sangat terasa adalah seringnya listrik mati di wilayah tersebut. Hal itu dirasakan ketika tim dari Kemenko Kemarittriman melakukan rapat di kantor Bupati Mabar. Dalam rapat yang berlangsung dari pukul 10.00-15.00 WITA itu, listrik mati hingga puluhan kali. Kendala lain yang juga dirasakan oleh wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo adalah biaya penerbangan dari dan ke Labuan Bajo masih relatif mahal karena pesawat besar tidak bisa mendarat di Bandara Komodo. Akibatnya, tambah Suardi, pesawat harus transit ke bandara terdekat baru pindah dan menggunakan pesawat yang lebih kecil. “Hal ini yang menyulitkan wisatawan terutama domestik untuk berkunjung ke Labuan Bajo,” jelasnya. Tak jauh beda, fasilitas pelabuhanpun menurut Suardi juga tidak lebih baik. “Kami tidak punya standar pelabuhan yang layak untuk bersandarnya kapal pesiar,” tukas pria berkacamata tersebut. Oleh sebab itu, kepala dinas pariwisata ini meminta Kemenko Kemaritiman untuk mendorong investor untuk menanamkan modal guna membangun marina yang diasumsikan bakal menghabiskan biaya hingga Rp 80 Miliar. Selain belum punya pelabuhan berstandar internasional, Kabupaten Mabar juga menghadapi masalah pelik lain yang berhubungan dengan kapal pesiar. “Sudah ada kapal pesiar yang berkapasitas 2000 orang, namun tidak bersandar ke Pelabuhan Labuan Bajo dan hanya sandar sebentar di Pulau Komodo,” ujar Asisten Deputi Bidang Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenko Kemaritiman Basilio Dias Araujo. Lebih jauh, Leo, panggilan Basilio mengungkapkan keengganan kapal pesiar itu untuk berlabuh di pelabuhan Labuan Bajo karena mereka takut ada tikus dari pelabuhan yang masuk kapal mereka. “Tikus itu dikhawatirkan muncul karena banyak sampah berserakan disekitar pelabuhan,” bebernya. Terkait sampah, Bupati Mabar Agustinus Dula mengaku pihaknya membutuhkan bantuan pemerintah pusat. “Omong sampah, paling kita cuman bisa omong peraturan. Tapi kalau soal teknis, mengamankan jual beli minyak illegal, membersihkan laut kami membutuhkan bantuan pusat,” tegas bupati kelahiran Mabar tersebut. Senada, Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Mabar meminta bantuan pemerintah untuk mengatasi kendala-kendala tersebut agar target kunjungan wisman sebanyak 500 ribu orang hingga tahun 2019 dapat terpenuhi. (Nuans/Arp)