Menko RR: Presiden Minta Negara Atur Reklamasi, Bukan Kepentingan Pribadi

Menko RR: Presiden Minta Negara Atur Reklamasi, Bukan Kepentingan Pribadi
Maritim - Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli telah menghentikan reklamasi Pulau G pada 30 Juni 2016, keterangan tersebut disampaikan Menko Rizal pada Rakor Reklamasi. Alasan diberhentikannya pembangunan tersebut karena terdapat pelanggaran berat didalamnya. Sesuai keputusan hasil rapat Tim Komite Reklamasi, menyebutkan terdapat tiga kategori, pertama pelanggaran berat‎, kedua pelanggaran sedang yang dapat dilakukan koreksi, ketiga pelanggaran ringan dimana prosesnya seperti administrasi dan prosedurnya dapat diperbaiki. Dalam kesempatan malam ini, Menko Rizal beserta jajarannya dan anggota Tim Komite Reklamasi, menghadiri acara ILC (Indonesia Lawyer Club) di TV One, Jakarta, Selasa, (26/07). Menjelaskan persoalan dan isu ‘memanas’ yang berkembang di masyarakat tentang keputusan Menko dan pihak yang tidak menyetujui keputusan tersebut. Bahwa keputusan pemberhentian reklamasi dibuat berdasar pada UU dan Hukum Internasional, bukan pada keputusan pribadi. “Sebab itu presiden meminta agar reklamasi ini diatur oleh negara bukan oleh kepentingan  pribadi,” jelas Menko Rizal. Jika mengikuti aturan UU dan Hukum Internasional, Pulau G memang seharusnya dihentikan bahkan dibongkar. Karena pada area tersebut terdapat posisi yang strategis. Menko Rizal menambahkan bahwampada area tersebut terdapat power station yang bertegangan 9600 MW, Pipa PLTGU, dan jalur kapal nelayan di Muara Angke. Senada dengan Menko Rizal, Deputi Koordinasi Bidang SDM, Iptek dan Maritim, Kemenko Maritim dan Sumber Daya Safri Burhanuddin mengatakan “Posisi Pulau G merupakan pelanggaran berat karena posisi pulau ini menghalangi posisi penduduk para nelayan di Muara Angke.” Alasannya, dari posisi geostrategi, posisi Pulau G persis berhimpitan dengan pipa gas disebelah timur yang berjarak 40m. Safri menambahkan, menurut UU Permen no. 5 tahun 2010, bahwa pada pembangunan instalasi tidak boleh terdapat bangunan atau dilarang dan harus berjarak 500 m pada setiap sisinya. “Itu dari segi posisi, kedua adanya PLTGU di Muara Karang, dan akan menghambat sirkulasi pendinginan pada pembangkit listrik ini,” tambahnya. Sesuai Hukum Internasional, tak hanya sisi teknis yang mengharuskan pemberhentian pembanguna Pulau G, namun dari sisi lingkungan hidup juga perlu diperhatikan. Masuknya KLHK kedalam keanggotaan Tim Komite Reklamasi adalah terkait soal lingkungan hidup. Dirjen Penegakkan Hukum Lingkungan dan Kehutanan Rasio Ridho Sani, mengatakan terdapat UU lingkungan hidup dimana KLHK memiliki wewenang untuk memberhentikan setiap proses pembangunan, jika terdapat pelanggaran di dalamnya. “KLHK juga memiliki tim pengawasan terhadap pembangunan reklamasi, dan jika terdapat pelanggaran berhak memberhentikan izin administrasi seperti pemberhentian pembangunan ini,” jelas Rasio pada kesempatan yang sama. Telah diketahui bahwa terdapat 3 pulau yang telah di evaluasi, yaitu Pulau C, D, dan G namun Pulau C dan D hanya memiliki pelanggaran sedang, alasannya pihak pengembang mau mengikuti aturan pemerintah. “Pada Pulau C dan D, awalnya pembanguna pulau itu disatukan, namun kita memerintahkan agar pembangunan itu dipisahkan dan dibangun kanal sepanjang kurang lebih 1 km, kedalaman 8 m, dan lebar 104 m,” tambah Rasio.
Hal itu agar dilakukan karena berkaitan dengan keluar masuknya aliran air, sidementasi pesisir, dan termasuk mengganggu aktifitas nelayan. Selain itu terdapat material-material pembangunan yang tidak jelas dan melebihi persyaratan.
Secara teknis, terkait dengan pemberhentian Pulau G terdapat potensi terjadi pendangkalan, kedua di area Pulau G terdapat objek penting, ketiga kebutuhan akan air bersih pendukung sistem pendingin.
“Dibutuhkan alat deflektor dan akan mempengaruhi pada pipa gas, dan zona amannya adalah berjarak 500 m pada setiap sisinya. Dan mengganggu jalur pelayaran nelayan jika desaignnya seperti itu,” ujar Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Bramantya Satyamurti Poerwadi.
Sehingga keputusan bahwa pemberhentian pembangunan Pulau G bukanlah keputusan secara pribadi dan dari ke tiga Kementerian teknis yang tergabung dalam tim, telah mengajukan rekomendasi yang didalamnya terdapat pelanggaran-palanggaran berat. Selanjutnya kementerian lainnya akan menjalankan sesuai tupoksinya masing-masing.
“Jadi kata siapa Menko berwenang? Menko Rizal hanya menjalankan sesuai hasil rapat dimana hasil tersebut adalah berdasarkan dari UU dan Hukum Internasional,” tambah Otto Hasibuan Penasihat Bidang Hukum Kemenko Maritim dan Sumber Daya. Kementerian Perhubungan telah mencabut izin kapal pengeruk, KLHK telah mencabut izin administrasi, KKP telah secara teknis jalur pelayaran juga merekomendasikan adanya pelanggaran, dan tiga Kementerian ini selanjutnya menjalankan tupoksinya masing-masing. “Seperti Menteri Perhubungan, Jonan sudah memberhentikan izin kapal uruk sejak 2 bulan terakhir. 3 Menteri dibawah, menteri teknis kami sudah keluarkan instruksinya untuk mengeluarkan wewenangnya untuk ambil tindakan sesuai tupoksinya,” tutup Menko Rizal. (Arp/Nn)