Hari Maritim Nasional ke-56, SAM Rameyo: Pengetahuan Tradisi Kemaritiman Kita Banyak Diadopsi Dunia
Marves -Jakarta, Staf Ahli Menteri Bidang Sosio-Antropologi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Tukul Rameyo Adi mendorong pengadopsian nilai-nilai kearifan lokal, khususnya di bidang maritim sebagai basis pengembangan inovasi di bidang maritim.
SAM Rameyo mengatakan ada banyak kearifan lokal kita yang saat ini telah diakui dunia, salah satunya adalah _ing madyo mbangun karso_ yang menurut pakar pengembangan SDM telah diadopsi menjadi konsepsi dalam _transformational leadership._
“Itu dari kearifan lokal kita, dan banyak lagi. Jangan sampai kita yang memiliki kearifan lokal, tapi justru dimanfaatkan dan dinikmati negara-negara lain," kata SAM Rameyo dalam acara Sarasehan Kebudayaan Bangsa Samudera bertema Berguru Kembali Kepada Alam dalam 8 babak, Air, Angin, Tanah, Api, Angkasa, Rembulan, Bintang, dan Matahari, Jumat, (31-07-2020). Acara ini digelar dalam rangka menyongsong 56 Tahun Hari Maritim Nasional.
SAM Rameyo berharap, sarasehan kebudayaan ini bisa menjadi titik temu antara pengetahuan yang berbasis kearifan lokal dengan pengetahuan masa kini sebagai basis inovasi pengetahuan di masa depan.
"Sarasehan ini diharapkan menjadi titik temu pengetahuan Bangsa Pelaut Nusantara. Dan juga sebagai wahana _blended knowledge,_ pembaruan pengetahuan yang mengombinasikan pengetahuan tradisi dengan pengetahuan masa kini sebagai basis inovasi bangsa di masa depan sesuai amanah resolusi Kongres Kebudayaan Indonesia yang lalu," ucap Rameyo.
Sementara itu, Dirjen kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hikmat Farid menyoroti peradaban manusia dalam beberapa puluh tahun terakhir ini yang mengalami kerusakan lingkungan sangat masif. Kondisi ini berbuntut pada terjadinya perubahan iklim dunia.
Hilmar mengatakan, _Sains_ merupakan kristalisasi pengetahuan tradisional, kearifan lokal atau kebudayaan samudera yang dikodifikasi lalu kemudian disebar melalui dunia pendidikan.
Menurut Hilmar langkah pertama yang harus dilakukan saat ini adalah melakukan dokumentasi pengetahuan lokal yang tersebar dalam berbagai bentuk, baik tulisan maupun lisan. Mulai dari naskah lama kita yang ribuan jumlahnya sampai tradisi lisan, gerak dan bunyi, ekspresi visual, serta praktik-praktik sosial yang ada.
“Saat ini kita baru menyentuh permukaan dari ‘gunung es pengetahuan’ yang luar biasa besar. Kerja sama dengan perguruan tinggi dan komunitas terus dilakukan dengan membentuk Sistem Data Kebudayaan Terpadu yang diamanatkan UU No. 5 Tahun 2007,” ujar Hilmar.
*Kenduri Ilmu* Ratna Dewi yang merupakan Anak Pelaut Selayar menyatakan bahwa Bung Karno pernah mengingatkan kepada kita bahwa jika Indonesia ingin kembali menjadi bangsa yang jaya, maka kita harus kembali kepada sejarah kita bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa samudera. “Manusia adalah Samudera itu sendiri karena komponen tubuh manusia 90% nya adalah air, bahkan tulang kita 23% adalah air, otak kita 70%nya dari air,” tambah Ratna.
Ratna pun menegaskan bahwa dalam kepercayaan leluhur, dibungkus dengan tradisi memiliki memori tentang air. “Bahkan konsep tanah air Indonesia merupakan konsep pulau-pulau yang disatukan oleh lautan,” tegas Ratna.
Safwan Hadi, Guru Besar Hidro-Oceanografi Institut Teknologi Bandung mengatakan bahwa jika kita ingin menjadi bangsa bahari yang kuat kita harus memahami konsep samudera yang ada di Indonesia. Sofwan menambahkan bahwa bumi kita ini 75%nya adalah laut, jadi laut itu mempersatukan darat bukan memisahkan daratan. “Air yang kita gunakan untuk hidup ini berasal dari laut melalui siklus hidrologi,” jelas Safwan.
Abdul Jalil, Penjaga Mata Air Masjid Menara Kudus yang juga penulis buku Kosmologi Banyu Penguripan menyatakan bahwa menara itu peninggalan Wali Songo yang menjadi kearifan para leluhur dalam hal ini kanjeng Sunan Kudus dan Wali Songo. “Disetiap Wali Songo itu selalu menggunakan media air sebagai transformasinya. Seperti Sunan Drajat ada sumur Kotak, Sunan Kalijaga ada sumur Jalatunda, Sunan Kudus ada Sumur Penguripan” jelas Jalil.
Trie Utami yang merupakan penyanyi dan pencipta lagu berdarah Sunda juga menyatakan bahwa leluhur di Jawa Barat pun sudah mempunyai _security system_ pengairan yang diajarkan masyarakat sejak dini yaitu _sanghiang patanjala._ Menurut Trie pada masanya peraturan itu disepakati sebagai sebuah tradisi yang berbicara tentang ekosistem yaitu air yang ditampung dalam embung-embung yang kemudian disalurkan melalui sungai-sungai dan irigasi-irigasi kemudian mengaliri sawah-sawah dan kebun-kebun. “Sumber-sumber mata air itu pun dijaga melalui tradisi _patanjala_ tersebut”, tambahnya.
Dalam komentar akhirnya SAM Rameyo menambahkan bahwa _sanghiang patanjala_ adalah bukti lain tentang kearifan negeri yang mengandung pengetahuan yang diperlukan pada masa modern ini.
“Konsepsi bahwa ‘sungai mempunyai hak hidup’ dalam _patanjala_ yang sudah berusia berabad-abad itu ternyata sama dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, SDGs. Bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berkeadilan bagi manusia dan alam lingkungan, yang saat ini dikenal sebagai pendekatan Sistem Sosial-Ekologi _(Social-Ecological System)._ Apabila diperhatikan, pada berbagai tradisi ritual bangsa Nusantara, seperti sedekah atau grebeg laut, selalu mengandung penghormatan dan mengingatkan untuk selalu adil terhadap sesama manusia, alam dan Tuhannya. Hasil dari rangkaian sarasehan pengetahuan dan budaya ini akan didokumentasikan untuk memperkaya dan memperkuat literasi maritim bagi generasi penerus nantinya,” kata Rameyo
Sebagai penutup sarasehan ini, Trie Utami melantunkan sebuah tembang “doa” berbahasa Sunda.
Biro Komunikasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi