'' Penangkapan Ikan Ilegal " Indonesia Mendorong Pembentukan Instrumen Baru di Kawasan

'' Penangkapan Ikan Ilegal
JAKARTA, MARITIM - Meski telah memiliki sejumlah instrumen regional dan internasional yang mengatur cara-cara penangkapan ikan yang dibenarkan, penangkapan ikan ilegal masih menjadi persoalan serius yang mengancam. Hingga kini, belum ada satu pun instrumen penegakan hukum yang mampu atau berdampak signifikan dalam upaya mengurangi angka penangkapan ikan ilegal. Argumentasi tersebut menjadi alasan utama diselenggarakannya the 2nd Regional Conference on the Establishment of a Regional Convention against Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing and Its Related Crimes di Yogyakarta (12 – 13/10). Konferensi diikuti oleh perwakilan dari 18 negara, beberapa pakar, dan sejumlah badan dunia, seperti FAO, Interpol, dan UNODC. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, yang dimotori oleh Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim, menilai perlu adanya langkah aktif dan segera dalam menanggapi isu penangkapan ikan ilegal di kawasan. Menurut laporan produksi perikanan dan budidaya perairan FAO tahun 2016, perairan di kawasan, khususnya ASEAN, menyumbang seperempat dari total produksi perikanan global. Dalam hal ini, Asia menyumbang sekurangnya 34% dari total nilai ekspor perikanan dan 87% dari total pekerja sektor perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Tidak kurang dari 60% produksi perikanan tangkap dihasilkan di Asia. Fakta tersebut cukup menjelaskan, perairan di kawasan begitu penting dan vital dalam rantai pasokan makanan global. Dengan demikian, upaya untuk memberantas aktivitas perikanan illegal membutuhkan perhatian dan pendekatan khusus. Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim, Arif Havas Oegroseno, dalam sambutannya menjelaskan, mekanisme dan instrumen penegakan hukum yang ada sekarang masih belum mampu menjawab sejumlah persoalan terkait penangkapan ikan ilegal dan jenis-jenis kejahatan yang berhubungan langsung dengannya. “Instrumen kebijakan yang ada terbatas pada pengawasan kapal-kapal yang beroperasi, tanpa mempertimbangkan unsur kejahatan lain di luar aktivitas perikanan seperti pemalsuan dokumen, pengemplangan pajak, korupsi, pencucian uang, penyeludupan narkoba, perdagangan manusia, dan lainnya,” jelas Havas. Senada dengan Havas, Profesor hukum publik dari Nelson Mandela Metropolitan University, Henny van As memaparkan, ada peningkatan kesadaran dan kepedulian pada sejumlah organisasi internasional yang menyatakan kejahatan perikanan adalah bentuk dari kejahatan teroganisasi tingkat tinggi. “Kejahatan ini secara langsung juga melibatkan masyarakat sipil. Dampaknya akan terlihat ketika masyarakat ikut dalam penangkapan ikan ilegal dan diiming-imingi obat-obatan terlarang. Kita melihat di jalan-jalan bagaimana banyak sekali orang-orang tak berpenghasilan yang terlantar dan kecanduan narkoba. Seperti yang terjadi di Afrika Selatan,” kata van As. Dalam pertemuan tersebut, para delegasi menyepakati, diperlukan pendekatan khusus dan kejelian dalam memahami isu kejahatan perikanan. Pakar menjelaskan, penangkapan ikan ilegal masih menjadi ancaman serius bagi kelestarian lingkungan dan kelangsungan hidup biota laut selain ikan. Ini terjadi karena masih adanya kesenjangan (gap) dalam konvensi perikanan regional yang sudah ada. Gap, di antaranya, masih terlihat pada tujuan dibentuknya konvensi/instrumen terkait, negara partisipan, cakupan geografis, dan spesies ikan yang dilindungi. Selain itu, para delegasi mengapresiasi langkah Indonesia atas inisiatif kepemimpinan di kawasan pada kasus penangkapan ikan ilegal. Ini dipersepsikan sebagai aksi nyata yang menunjukkan keseriusan Indonesia dan negara-negara di kawasan untuk bersama-sama memberantas praktek penangkapan ikan ilegal. Pembentukan konvensi regional mendatang diharapkan mampu menjadi acuan hukum negara-negara di kawasan dalam memerangi penangkapan ikan illegal dan sejumlah kejahatan yang berkaitan dengannya. Kegiatan ini diselenggarakan menyusul konferensi sebelumnya yang digelar di Bali, Mei 2016. Sebagai modal utama untuk pertemuan mendatang, seluruh masukan dan komentar delegasi akan diolah bersama Tim Teknis yang tergabung dari Kemenko Maritim dan Kementerian Luar Negeri. Dokumen yang berisi rancangan instrumen disiapkan sebagai materi yang akan dikaji kembali dan menjadi acuan dalam pertemuan-pertemuan mendatang. [MIT]