Pentingnya Dorong Ekonomi Biru untuk Keselamatan dan Keberlangsungan Laut Indonesia
Marves - Dubai, Isu ekonomi biru dalam rangka pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir bagi keselamatan laut Indonesia dan dunia merupakan salah satu agenda penting untuk dibawa ke forum internasional. Terkait hal tersebut, telah diselenggarakan Ocean High Level Panel: Embodiment of Blue Economy through A Sustainable Use of Coastal and Marine Resources to Save the Ocean Environment di COP-28 Dubai pada Sabtu (2/12/2023).
Ocean High Level Panel ini diawali dengan pembukaan oleh Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Firman Hidayat. Seperti disampaikan Deputi Firman pada pembukaan Ocean High Level Panel, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk menjaga laut dikarenakan manfaat laut yang berlimpah bagi kehidupan manusia mulai dari keanekaragaman hayati dan sumber daya sampai sebagai alat perkembangan ekonomi negara.
“Laut kita memitigasi polusi industri yang tidak terbarukan dengan menyerap 25 persen dari seluruh emisi karbon, sekaligus menghasilkan 50 persen oksigen yang kita perlukan untuk bertahan hidup. Laut dan keanekaragaman hayatinya menyediakan 15 persen protein hewani yang kita konsumsi bagi komunitas global,” ujar Deputi Firman.
“Laut menyediakan lapangan kerja dan penghidupan; Laut menyediakan mata pencaharian bagi 3 miliar orang, atau hampir 50 persen dari seluruh populasi global. Perikanan laut menyediakan 57 juta lapangan pekerjaan secara global. Laut adalah alat pembangunan ekonomi. Nilai pasar sumber daya kelautan dan pesisir serta industri yang sedang berkembang diperkirakan oleh UNDP sebesar US$3 triliun per tahun. Jadi, tidak diragukan lagi, kita menyelamatkan laut, kita menyelamatkan hidup kita,” lanjut Deputi Firman.
Dalam implementasinya, Indonesia sudah menerapkan strategi ekonomi melalui 5 (lima) program yang di antaranya, 30 persen kawasan konservasi laut untuk pemulihan dan perlindungan ekosistem, mengurangi tekanan penangkapan ikan melalui kuota dan peningkatan akuakultur, penggunaan laut yang terkendali dan pengelolaan sampah plastik, Ocean Big Data untuk memantau dan mengukur kualitas ekologi, serta akuntansi kelautan untuk menilai dampak pemanfaatan ruang laut.
Keberhasilan program-program tersebut tentu memerlukan kolaborasi antar pemangku kepentingan seperti yang disampaikan Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Bapak Victor Gustaaf Manoppo dalam keynote speech nya.
“Kolaborasi global diperlukan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini dan melindungi laut. Pada intinya, Indonesia berkomitmen terhadap Ekonomi Biru yang berkelanjutan dan menekankan pentingnya bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut,” tutur Ibu Vivi Yulaswati, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Bappenas.
Ekonomi biru adalah konsep pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian ekosistem laut. Presiden Direktur Sea6 Energy Indonesia, Agus Sastra Wiguna memberikan contoh spesifik dari pengembangan inovasi dan teknologi sumber daya hayati terutama rumput laut yaitu, pengembangan produk makanan berbasis rumput laut, plastik biodegradable, bio-stimulan, serta minyak mentah hayati.
Tidak hanya Sea6 Energy Indonesia, Yayasan Konservasi Indonesia turut berpartisipasi dalam Ocean High Level Panel dengan menerangkan model pembiayaan berkelanjutan untuk tata kelola laut. Paparan Yayasan Konservasi Indonesia mencakup Inisiatif Blue Halo S yang akan menggalang dana sebesar US$300 juta dari Green Climate Fund (GCF) yang terdiri dari 2 (dua) kompononen, antara lain; fasilitas hibah untuk Mekanisme Adaptasi Ekosistem Biru (BEAM) dan Blue Bond.
Bapak Yoki Firnandi, Selaku Presiden Direktur Pertamina International Shipping (PIS) menyampaikan tentang empat strategi dalam mengurangi emisi. Pertama, PIS memiliki 19 kapal ramah lingkungan dan tiga kapal yang memenuhi standar emisi International Maritime Organization (IMO) tier tiga. Strategi kedua, peremajaan armada sesuai ketentuan the International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL) dan Peraturan Menteri Perhubungan No. 29 Tahun 2014 tentang Penghentian Operasi Kapal Lambung.
Yang ketiga, pengurangan bahan bakar melalui pembersihan lambung (menghasilkan efisiensi 4%), pengoptimalan kecepatan operasi kapal (efisiensi 22%), serta penyertaan alat penyimpan energi (efisiensi 2%)," jelas Yoki. Dan, strategi keempat adalah intensitas emisi yang lebih rendah, salah satunya pada kapal very large gas carrier (VLGC) Pertamina Gas Amarylis.
No.SP-335/HUM/ROKOM/SET.MARVES/XII/2023
Biro Komunikasi
Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi