Saat Ananda Sukarlan Bicara Kearifan Lokal Dalam Orkestra G20

Saat Ananda Sukarlan Bicara Kearifan Lokal Dalam Orkestra G20

Marves - Magelang, 

alunan Indonesia Raya menggema di area Aksobya, pelataran Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, mengawali Orkestra G20 membangkitkan nasionalisme yang kental di tengah Indonesia menjadi tuan rumah Presidensi G20.

 

Berjumlah 70 musisi muda dunia dari 18 negara anggota G20 berhasil memukau para penonton yang berasal dari banyak negara malam itu. Kita patut berbangga, orkestra ini pertama kali dibentuk di Indonesia dalam perjalanan KTT G20. Tepatnya setelah Indonesia memegang tongkat Presidensi G20 dan dipimpin oleh seorang Wanita Eunice Tong.

 

Dengan mendampuk Ananda Sukarlan sebagai Artistic Director, pertunjukan yang berlangsung 1,5 jam ini dibagi dalam empat segmen yang dikemas begitu ciamik oleh musisi kebanggaan Indonesia ini.

 

“Kita buat gebrakan dari Indonesia, dimana belum pernah ada di negara lain selama G20 diadakan. Dikemas sangat kaya dari unsur budaya, gender dan kearifan lokal yang dimiliki Indonesia. Seperti kita tahu dalam musik klasik sangat dominan laki-laki tapi kita menampilkan dominan perempuan yang milenial,” kata Ananda pada tim humas Kemenko Marves yang menemuinya di Aula Simfonia Jakarta, Kemayoran, 07/10/2022.

 

Ananda juga menambahkan bahwa terbentuknya Orkestra G20 merupakan ide dari Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid. “Ini keren banget sih, beliau menghubungi saya saat awal tahun dan meminta untuk merealisasikan ide ini. Semoga bisa menjadi cikal bakal di pertemuan G20 di negara berbeda,” ungkap Ananda.

 

Tidak hanya itu, kejayaan bangsa Indonesia dalam perdagangan, agama, maritim, dan akulturasi budaya masyarakat Makassar dan Suku Aborigin diceritakan dalam The Voyage to Marege. Kehadiran dua musisi tradisional asal Australia, Ngulmiya (Grant) Nundhirribala, seorang pemimpin upacara ikonis dan pelantun lagu-lagu upacara beserta anaknya, Nayuryurr Nundhirribala, seorang penari dan pemain didjerido menambah kaya pagelaran tersebut.

 

Kekuatan unsur lokal begitu kental saat musik yang disajikan mengantarkan kita berpetualang tentang penjelajahan, perdagangan, laut dan diplomasi menjadi kesatuan harmoni. Ternyata, hubungan Makassar dan Suku Aborigin sudah terjadi dari semenjak abad 1700. Jejak ini dapat ditemukan lewat lagu-lagu tradisional, kisah rakyat, tarian dan karya seni masyarakat Yolngu.

 

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid, selaku Koordinator Pertemuan Tingkat Menteri Kebudayaan G20 menjelaskan, orkestra ini merupakan rangkaian kegiatan kebudayaan yang memiliki pesan pada dunia. Perbedaan negara-negara anggota G20, tapi bila bersatu dalam harmoni jalan budaya, maka dapat segera pulih dari hantaman badai pandemi untuk bangkit bersama.

 

“Jadi budaya itu tidak boleh ditaruh dalam lemari es, seperti yang disampaikan dalam UU kebudayaan, budaya itu harus dimanfaatkan dan dimunculkan,” tegasnya.

 

The Voyage to Marege

 

Pelaut dan berdagang, memang menjadi ciri khas nenek moyang kita dalam mengarungi Samudera untuk melakukan perdagangan dan pertukaran budaya. Lewat buku berjudul “The Voyage to Marege : Macassan Trepangers in Norhern Australia” karya C. Campbell Macknight diterbitkan Melbourne University Press (1976) dituturkan tentang orang-orang Makassar telah menginjakkan kaki di Australia untuk mencari teripang.

 

Marege merupakan nama yang diberikan orang Makassar untuk wilayah pesisir Arnhem Land dan Teluk Carpentaria, negara Northern Territory, Australia. Pencarian teripang yang dilakukan para pelaut Makassar ini, membuat asimilasi kebudayaan terjadi di wilayah Australia tersebut.

 

Ini terbukti pada bahasa, orang Aborigin menggunakan sejumlah kata dari Bahasa Indonesia dan Makassar dalam bahasa asli mereka. Contohnya, rupiah yang artinya uang, jama artinya kerja, dan Balanda artinya kulit putih. Tanda pada seni rupa, yaitu adanya lukisan pada batu yang dapat ditemukan di Wellington Range, Arnhem Land, Northern TerritoryAustralia.

 

Lewat buku inilah, solois kebanggaan Indonesia Ananda Sukarlan terinspirasi menjadikan alunan musik nan indah. Dengan menggandeng dua seniman tradisional Australia Ngulmiya (Grant) Nundhirribala dan anaknya Nayuryurr Nundhirribala yang menyanyikan lagu Dhumbala (Red Flag) yang memiliki makna historis dan berkembang selama berabad-abad hubungan keluarganya dengan pelaut-pelaut asal di Indonesia di masa silam.

 

"Dhumbala ini merupakan lagu yang menceritakan tentang hubungan sejarah berabad-abad lalu antara keluarga saya dengan pelaut-pelaut dari Makassar," papar Ngulmiya pada media.

 

Lagu Dhumbala ungkap Ngulmiya, menceritakan tentang bendera merah yang diletakkan para pelaut sebagai sebuah tanda di kapal yang berlabuh di Makassar serta bagaimana hubungan kultural antara suku-suku Aborigin dengan suku di sana yang ada sejak zaman dulu dan masih berlanjut hingga sekarang.

 

Menjadi suatu kebanggaan bagi Ngulmiya bisa tampil bersama puluhan musisi-musisi dari negara-negara anggota G20. Ini juga menjadi pengalaman berharga bagi anak pertamanya yang diharapkan bisa meneruskan musik tradisional leluhurnya.

 

“Ini menjadi kebanggaan bagi saya. Bisa bermusik dengan musisi hebat dari negara-negara anggota G20. Selain itu menjadi pelajaran dan pengalaman pertama bagi anak saya (Nayuryurr Nundhirribala) untuk bermain di internasional, sehingga bisa menjadi bekal dia untuk meneruskan musik tradisional leluhur kami,” tutup Ngulmiya.