Sebuah Catatan di Awal Tahun

Sebuah Catatan di Awal Tahun
 

Di awal tahun ini saya mendengar ada yang mengatakan bahwa krisis ekonomi siklus 10 tahunan akan kembali terjadi di Indonesia pada 2018, setelah sebelumnya terjadi pada 1998 dan 2008.

Pernyataan tersebut sangat tidak betul. Sampai detik ini, saya tidak melihat ada tanda-tanda ekonomi kita akan bermasalah. Sama sekali tidak ada. Sebab kalau ekonomi nasional kita akan bermasalah pasti ada tandanya, seperti layaknya orang sakit pasti ada gejala-gejala yang mengawalinya.

Sekarang tidak ada 1 pun indikator ekonomi yang mengatakan ekonomi kita akan mengalami krisis. Lebih dari itu, sekarang tidak ada satupun institusi internasional yang mengatakan Indonesia punya masalah.

Jika kita bandingkan semua rating-rating dunia pada tahun 2015 akhir, dengan 2016 akhir, dan dengan 2017 akhir, maka terlihat sekali keadaan ekonomi Indonesia terus meningkat, sejalan dengan stabilitas politik dan keamanan nasional.

Bahkan pada data terakhir yang saya kirimkan bersama tulisan ini, terlihat sekali bahwa Indonesia sudah dimasukkan pada kelompok lima besar ekonomi dunia. Hal ini sejalan dengan ramalan The World Economic Forum dan PricewaterhouseCoopers yang memproyeksikan Indonesia pada 2030 akan memiliki GDP (Gross Domestic Product) di peringkat 5 dunia, yakni sebesar USD 5,424 triliun. Angka ini di atas GDP negara maju seperti Jerman atau Prancis. Nomor 1 adalah Tiongkok dengan USD 38,008 triliun, sedangkan di posisi kedua adalah Amerika Serikat dengan USD 23,475 triliun. Kita sedang bergerak mengarah ke sana.

Artinya program-program pemerintah sudah benar, mulai dari program pembangunan infrastruktur di kota maupun pedesaan, penyaluran dana desa, pengembangan pertanian, program Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, sampai Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera.

Kemudian jika kita perhatikan, kesejangan di Indonesia sudah dapat dikurangi menjadi jauh lebih baik. Hal ini terlihat dari Gini Ratio yang terus menurun. Berdasarkan data BPS, koefisien gini September 2014 masih di angka 0,414. Angka ini bertahap menurun hingga Pada September 2017 menjadi 0,391.

Bicara tentang siklus bisnis di Indonesia, sebenarnya masa perlambatan ekonomi terjadi rata-rata 7 tahunan, bukan 10 tahunan. Terakhir seharusnya terjadi pada tahun 2016. Tapi pemerintah Indonesia saat itu sudah bisa mengendalikan siklus bisnis dengan baik dengan melaksanakan kebijakan fiskal dan moneter secara tepat.

Ketika perlambatan hampir terjadi, waktu itu pemerintah mempercepat belanja infrastruktur dan pencairan program-program yang menyentuh kemiskinan, serta mengendalikan harga pangan. Kemudian ketika inflasi stabil di angka rendah, suku bunga diturunkan. Mungkin sebagian dari kita tidak sadar bahwa di 2016 kita telah lolos dari resesi.

2018, Tahun Kerja Keras

Apa yang harus dilakukan tahun ini? Kita harus bekerja lebih keras. Kita semua. Harus lebih kompak timnya.

Tahun ini pemerintah akan menerapkan strategi yang lebih ‘reaching out’ dengan kata lain lebih jemput bola. Misalnya, untuk mempercepat pembangunan pemerintah dapat memanfaatkan keberadaan dana-dana dari luar negeri.

Contohnya dana pensiun di Jepang yang bunganya 0%. Kalau kita tawarkan dana tersebut dapat diinvestasikan di Indonesia dalam program yang berkesinambungan dengan bunga 3 – 4%, mereka pasti senang sekali. Kita juga untung karena hanya membayar bunga yang rendah, jauh di bawah rata-rata suku bunga kredit di Indonesia yang tercatat 11,45% (data BI November 2017), dan hanya setengah dari bunga pinjaman proyek LRT yang 8,25%.

Tidak akan sulit bagi Indonesia karena sudah memperoleh kepercayaan dunia. Buktinya adalah meningkatnya rating kita oleh beberapa institusi internasional, seperti dari Fitch Ratings (naik dari BBB- ke BBB), Standard & Poors (dari BB+ menjadi BBB-/ Investment Grade), dan Moody's Investors Service (naik dari Stable menjadi Positive). Saya juga optimis bahwa rating Indonesia tahun ini akan lebih baik. Dampaknya akan luar biasa karena tingkat kepercayaan investasi pada kita makin tinggi.

Strategi jemput bola ini penting karena kita yang harus aktif mendatangi mereka secara profesional, bukan kita yang menunggu didatangi. Apalagi sekarang kita seolah-olah muncul tiba-tiba di permukaan setelah selama ini Indonesia tenggelam di kancah dunia.

Kalaupun dulu sempat naik itu hanya karena ada 'comodity booming' atau harga komoditas melonjak, sehingga ekonomi Indonesia dalam kurun 2010 – 2012 tumbuh di atas 6%. Ke depannya kita tidak lagi boleh bergantung pada harga 'raw material' saja. Industrialisasi harus kita jalankan supaya bisa menambah ‘added value’ pada bahan mentah.

Untuk mewujudkan itu, ada 2 tantangan yang kita hadapi.

Pertama, masalah ketertinggalan teknologi. Negara-negara maju seperti Tiongkok saat ini sudah menggunakan 'robotic technology' dengan apa yang disebut dengan Industry 4.0. Tantangan Indonesia adalah bagaimana dapat mengikuti kemajuan teknologi tersebut.

Tantangan kedua adalah bagaimana memperbaiki SDM. Ketersediaan SDM berkualitas adalah mutlak dimiliki oleh Indonesia. Tidak bisa tidak. Jika tersedia SDM yang terampil, maka kita tidak lagi perlu menerima tenaga kerja asing.

Untuk mengatasi itu pemerintah sudah memutuskan untuk mengundang profesor-profesor kelas dunia agar mau bekerja di universitas di Indonesia. Opsi lain adalah mendorong kerja sama antara universitas top dunia dengan universitas dalam negeri seperti ITB, UI, UGM, dan sebagainya.

Evaluasi Pemerintah

Sebagai kesimpulan, jika ditanya apakah kita sudah puas dengan pencapaian pemerintahan Presiden Jokowi selama ini? Tentu saja belum. Karena baru 3 tahun lebih berjalan, masih ada 1 tahun lebih. Mari kita lebih sabar menunggu.

Tapi kita harus akui bahwa banyak kemajuan yang sudah dicapai. Contohnya adalah GDP Indonesia di tahun 2017 yang diperkirakan mencapai USD 1.004 triliun. Kadang kita justru lupa untuk merayakan atau mengapresiasi keberhasilan kita sendiri seperti ini.

Pertanyaan selanjutnya, apakah semua pelaksanaan program pemerintah sudah sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional? Ada yang lebih baik, ada juga yang tidak. Itu sangat normal saja, semua di dunia juga begitu. Jadi jangan kita menaifkan pencapaian-pencapaian pemerintah.

Memang saya juga harus akui bahwa masih ada juga kekurangan kita. Misalnya masih ada kalangan birokrat yang memiliki mental minta dilayani, bukan melayani. Padahal Presiden sudah habis-habisan untuk merevolusinya. Jadi memang masih diperlukan waktu untuk memberikan pemahaman ini kepada para birokrat dan juga masyarakat pada umumnya.

Di luar kekurangan itu, menurut hemat saya kepemimpinan Presiden Jokowi telah memberikan 1 pilar tersendiri. Beliau sudah berhasil memberikan ketauladanan bagaimana melakukan suatu kegiatan dalam pemerintahan ini di mana Beliau sendiri, anak dan istrinya tidak ada cawe-cawe macam-macam untuk keuntungan pribadi.

Satu lagi kelebihan Beliau menurut saya adalah ketegasannya dalam memotong banyak sekali birokrasi. Belum pernah terjadi di sepanjang sejarah pemerintahan kita. Kontras dengan kecenderungan kita yang suka membuat peraturan yang berbelit dan tumpang tindih, Beliau justru memotong peraturan dalam konteks bukan menyimpangi aturan tapi lebih pada menyederhanakan, sama seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju. Kesalahan kita selama ini adalah terlalu banyak membuat peraturan, sehingga mengikat diri kita sendiri.

Penutup

Sebagai penutup, saya mengajak segenap kita sebagai bagian dari NKRI, untuk bersikap optimis. Tidak ada alasan untuk tidak optimis. Jika masih ada kritik di sana sini, itu hanya karena kita hanya merasa kurang cepat. Kenapa? Banyak faktor di kita sendiri. Kita kadang masih suka ribut sendiri. Jika terus seperti itu, kita hanya akan membunuh diri kita sendiri atau memperlambat diri sendiri.

Maka dari itu saya berharap pada seluruh masyarakat untuk jangan membuat berita-berita yang tidak benar. Jika ingin memberitakan, dasarilah dengan data. Apalagi para intelektual-intelektual Indonesia, saya percaya pasti mampu bersikap lebih dewasa dan berkomentar berdasarkan data.

Saya sendiri sangat optimis bahwa kinerja pemerintah di 2018 pasti akan lebih bagus dibandingkan 2017. Bahkan kalau kita pelihara stabilitas dengan baik, saya yakin pertumbuhan ekonomi kita di 2019 akan bisa mencapai lebih dari 6%. Angka ini memang masih di bawah prediksi kita dulu di 7% di mana waktu itu kita berharap ekonomi global dapat lebih cepat membaik. Ternyata kenyataannya tidak demikian. Tapi sekarang ekonomi global sudah mulai membaik, maka kita akan coba mengikuti arus membaiknya itu.

Akhir kata, saya mengucapkan selamat tahun baru! Mari kita sambut 2018 dengan kerja keras, tetap optimis dan berpikir positif.

Karena sekali lagi, tidak ada alasan untuk tidak optimis.

Ditulis oleh Luhut B. Pandjaitan, 7 Januari 2018.