Setumpuk Noktah di Perairan Pulau Komodo yang Indah

Setumpuk Noktah di Perairan Pulau Komodo yang Indah
Maritim - Dengan dukungan lebih 200 juta suara, pada Bulan Mei 2012, Lembaga New7Wonders menyatakan bahwa Taman Nasional Komodo yang berada di Pulau Komodo Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi salah satu dari New Seven Wonders of Nature (Tujuh Keajaiban Alam Baru). Jauh sebelum itu, pada tahun 2001, pulau yang menjadi tempat pelestarian Komodo, salah satu hewan prasejarah, juga mendapatkan pengakuan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai Situs Warisan Dunia. Luas wilayah darat Pulau Komodo adalah 603 km² dan wilayah total sejauh 1817 km². Menurut Abdul, salah satu ranger (penjaga hutan) yang mendampingi tim Kemenko Bidang Kemaritiman pada saat berkunjung ke pulau tersebut, hingga tahun 2016 pulau Komodo didiami oleh sekitar 2919-an komodo. Tak hanya itu, tambahnya, di pulau yang juga disebut Loh Liang tersebut dihuni oleh 277 spesies hewan yang merupakan perpaduan hewan yang berasal dari Asia dan Australia. Dengan letaknya yang terpencil, pulau ini nampak bak surga bagi pecinta wisata alam. Sejak berlabuh di pelabuhan Komodo, tim dari Kemenko Kemaritiman sudah disambut cuitan suara burung Garuda yang banyak bertengger di lampu-lampu penerang jalan sepanjang pelabuhan. Lalu berjalan masuk ke arah kawasan konservasi, tim kembali disambut oleh beberapa ekor ayam hutan yang sibuk mengorek tanah untuk mencari cacing. Tak sampai 50 meter dari pintu masuk kawasan konservasi, tim kembali melihat gundukan tanah dengan ketinggian sekitar 3 meteran. “Ini adalah sarang Burung Maleo untuk menyembunyikan telurnya,” jelas Abdul kepada tim. Rupanya, tak hanya Burung Maleo saja yang memanfaatkan gundukan tanah itu sebagai sarang. Setelah telur menetas dan Maleo pergi, Komodo ikut menggunakan sarang bekas pakai itu untuk menaruh telurnya. Pada saat awal masuk ke taman konservasi, tim memang tidak langsung menemukan komodo penghuni pulau, namun tim sempat bertemu dengan beberapa rusa dan babi hutan berwarna hitam serta jejak kotoran Komodo berwarna putih yang tercecer di beberapa tempat. Menurut pendamping kami, kotoran Komodo selalu berwarna putih karena hewan serupa kadal itu selalu memakan mangsa beserta tulang belulangnya. Berjalan hingga kurang lebih 35 menit dari titik pemberangkatan menuju ke bukit Fregata, tim belum menemukan satu ekor komodopun. Namun rindangnya pepohonan, riuhnya suara siulan burung liar dan suara kokok ayam hutan cukup membuat hati senang. Puncak dari keindahan pemandangan yang dialami oleh tim adalah ketika sampai pada puncak bukit Fregata. Dari ketinggian kurang lebih 200 meter dari permukaan laut, tim dapat melihat birunya laut yang indah laksana lukisan menyatu dengan awan berwarna keperakan. Pemandangan marina atau pelabuhan Komodo yang menurut data taman konservasi Pulau Komodo hingga akhir Bulan Maret tahun ini telah didatangi 5 kapal pesiar dari luar negeri itu seakan melengkapi indahnya pesisir pantai Komodo. Setelah menghabiskan waktu 10 menit untuk berfoto dan mengagumi lukisan Tuhan itu, tim kembali melanjutkan trekking ke wilayah dapur para ranger. Dan disanalah kami melihat ada dua ‘naga purba’ raksasa sedang berdiam di bawah lantai dapur yang bangunannya mirip rumah panggung. “Mereka sama seperti kita, ngga suka panas, jadi berteduh disitu,” kelakar Abdul, ranger pendamping tim. Dengan rasa penasaran namun sedikit takut, kami mencoba untuk melihat komodo yang sedang bersembunyi di bawah lantai dapur itu. Tapi, seorang ranger lain memberi tahu kami bahwa ada dua komodo lain yang juga sedang berdiam di bawah dua pohon tak jauh dari tempat kami berdiri. Sontak kami pun berusaha mendekat untuk melihat Komodo yang sebelumnya hanya sempat kami lihat di televisi. Setelah puas menjelajah sebagian kecil pulau Komodo dan melihat binatang purba itu secara langsung, kami beranjak menuju kapal kecil kami yang akan membawa kami ke pink beach untuk snorkeling. Perjalanan dari pulau komodo ke pantai berpasir merah muda itu hanya menghabiskan waktu tak sampai 30 menit. Namun pemandangan birunya laut yang dihiasi dengan terumbu karang dan ratusan ikan nemo itu terganggu oleh onggokan sampah plastik yang terbawa aliran air laut. Sulaeman, kapten kapal kami menduga sampah-sampah plastik itu merupakan limbah penduduk pulau. Keriangan dan ketakjuban kami akan keindahan terumbu karang di sekeliling pink beach terganggu oleh beberapa sampah plastik yang tiba-tiba muncul diantara kami. Bahkan salah satu staf di kedeputian I, Burhan, sempat menyelam ke dasar laut untuk memunguti bungkus mie instan, atau plastik kemasan jajanan anak lainnya. Tak hanya di sekeliling pink beach saja, dalam perjalanan menuju pelabuhan Labuan Bajo ke Pulau Komodo, kami juga menemukan sampah plastik yang hanyut diatas tumpahan minyak. Ini mengingatkan kami pada penuturan dari wakil bupati Manggarai Barat Maria Geong di kantor bupati sehari sebelum kami pergi ke Pulau Komodo. “Memang agak sulit mengubah mindset penduduk kami soal sampah ini,” keluhnya. Kala itu, dia meminta pemerintah pusat melalui Kemenko Kemaritiman untuk membantu melakukan edukasi kepada masyarakat di pulau-pulau wilayah Kabupaten Mabar agar sadar lingkungan bersih. Dari kunjungan ke Pulau Komodo kemarin, pesan yang kami dapat adalah sebesar apapun usaha pemerintah pusat untuk membuat Labuan Bajo menjadi salah satu destinasi wisata prioritas bila tanpa melibatkan penduduk lokal maka kesuksesan akan sulit diraih. (Nuans/Arp)