Subak, Sistem Pertanian di Bali Sarat Filosofi, Tradisi Menjaga Alam dan Budaya

Subak, Sistem Pertanian di Bali Sarat Filosofi, Tradisi Menjaga Alam dan Budaya

Marves - Bali dikenal sebagai surga dunia yang dicintai masyarakat lokal dan mancanegara. Ketertarikan dengan Bali dan rasa yang selalu ingin kembali datang ke Pulau Dewata ini lantaran Bali terkenal dengan keindahan pantai,

kekayaan alam, ragam budaya serta keramahan penduduknya saat melayani para tamu yang datang. Rasanya ingin  yang membuatnya terkenang  

Dan berbicara Bali, wisatawan lokal dan mancanegara juga mengagumi persawahan hijau berundak-undak yang khas nan memesona yang dikenal sebagai sawah terasering. Rasanya belum lengkap ke Bali kalau tidak menyaksikan keindahan sawah-sawa

Ada beberapa daerah di Pulau Dewata yang terkenal dengan sawah teraseringnya. Sebutlah Desa Tegalalang dan Desa Blimbing, Pupuan, yang berada di pusat wisata terkenal, Ubud, di Kabupaten Gianyar.  Kemudian Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Baik, Tegalalang, Pupuan dan Jatiluwih berudara sejuk karena berada di kawasan pegunungan dan menjalankan Subak, yaitu sebuah organisasi masyarakat adat yang mengatur sistem irigasi tradisional dan telah dijalankan sejak abad ke-11.

Menariknya, Subak bukan semata sistem pertanian, tetapi Subak mewakili budaya Bali yang berbasis pertanian khususnya pertanian lahan basah yaitu padi. Pada Subak, tecermin budaya gotong-royong, pelestarian lingkungan, pengetahuan musim, angin, dan pengendalian hama.

Subak Salah Satu Manifestasi Tri Hita Karana

Subak diatur oleh seorang pemuka adat yang disebut pekaseh dan biasanya juga berprofesi sebagai petani. Subak adalah salah satu manifestasi Tri Hita Karana (THK), yaitu filosofi Hindu Bali dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan sesamanya, manusia dengan alam, dan manusia dengan Sang Pencipta.

Menurut I Gede Vibhuti Kumarananda. S.P. Penyuluh Pertanian Ahli Pertama Alsintan, bahwa Subak adalah sistem pengairan masyarakat Bali yang menyangkut hukum adat yang mempunyai ciri khas, yaitu sosial, pertanian, keagamaan dengan tekad dan semangat gotong royong dalam usaha memperoleh air dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan air dalam menghasilkan tanaman pangan terutama padi dan palawija.

Kemudian dijelaskan juga bahwa sistim irigasi Subak juga merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di persawahan. Keunikan sistem irigasi Subak terlihat dari kegiatan ritual keagamaan yang dilakukan oleh anggota Subak secara rutin sesuai tahapan pertumbuhan padi mulai dari mengolah tanah hingga hasil panen padi disimpan di lumbung.

Dari beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli menyebutkan bahwa sistem irigasi subak merupakan cerminan dari THK sebuah filosofi yang melekat kuat di Bali, yang mengajarkan bahwa manusia dapat hidup bahagia, aman, tentram dan lahir batin.

Bila dipaparkan konsep THK ini secara inti terdiri dari Parahyangan yang ditujukan untuk pemujaan terhadap pura di kawasan Subak, Pawongan menandakan adanya organisasi yang mengatur sistem irigasi Subak, dan Palemahan menunjukkan kepemilikan tanah atau wilayah di setiap Subak.

Nah, melalui ketiga hal inilah yang memiliki hubungan timbal balik, menjadi sangat relevan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang sekarang begitu populer dan sering dijadikan acuan oleh setiap perencana pembangunan di berbagai sektor.

Sejarah Panjang Subak

Sejarah Subak Budidaya padi di sawah irigasi merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan subak saat ini. Dari sumber yang ada, tampaknya kegiatan bercocok tanam padi sudah ada di Bali sekitar tahun 882 M. Hal itu ditunjukkan dengan ditemukannya arti kata “Huma” yang berarti “sawah” dalam prasasti tertua di Bali, yaitu Prasasti Sukawana A1 (Purwita, 1993: 42).

Adapun pada kata “sawah” bisa berarti sawah atau tadah hujan, tetapi bisa juga berarti sawah beririgasi. Lebih lanjut kata “Huma” menurut kamus bahasa Indonesia-Inggris oleh John M. Echols dan Hassan Shadily (1989) diterjemahkan sebagai ladang untuk budidaya padi kering, yang berarti mengolah padi. Jadi bisa diibaratkan sawah yang tidak diairi tetapi hanya mengandalkan air hujan (sawah tadah hujan). Artinya irigasi memiliki sejarah yang sangat panjang yang telah diterapkan oleh petani di Bali sejak lebih dari seribu tahun yang lalu.

Secara faktual diketahui di Bali adanya sistem irigasi yang disebut “Kasubakan” atau “Subak” pada tahun 1071 M dan hal ini didukung oleh prasasti Klungkung pada tahun 1072 M. Dalam prasasti tersebut disebutkan nama “Subak” yaitu “Subak Rawas” dan tertulis: " ...masukatang huma di kedandan di errara di kasuwakan rawas...." yang artinya "mengukur sawah di Kadandan pada Yeh Aa dalam Subak Rawas” (Callenfels, 1926 dalam Purwita, 1993: 41).

Memang belum jelas bagaimana proses terbentuknya dan kapan “Subak” pertama kali ada di Bali. Dan Jika dilihat dari topografi pulau Bali purba yang masih terdapat hutan lebat dan medan perbukitan serta mata air dari sungai-sungai yang jauh di bawah, tentunya sangat sulit bagi petani untuk mendistribusikan air ke sawah-sawah petani di atas.

Mengingat medan yang ekstrim, para pendiri “Subak” di masa lalu seharusnya memiliki kearifan lokal (indigenous knowledge) sehingga mampu menghasilkan sistem irigasi tradisional yang dilengkapi dengan bangunan irigasi yang walaupun terlihat sederhana, namun dapat bekerja seperti sistem irigasi modern.

Dan untuk lahan yang memiliki kemiringan relatif besar, dibuatlah persawahan bertingkat hingga membentuk bentang alam yang mempesona bagi siapa saja yang memandangnya. Kearifan lokal dalam membangun dan mengelola sistem irigasi diwariskan secara turun-temurun sehingga pada akhirnya menjadi lembaga adat “Subak” seperti sekarang ini.

Subak Ditetapkan UNESCO Sebagai Warisan Budaya

Karena itu, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO, pada sidangnya di Saint Petersburg, Rusia, 20 Juni 2012, telah menetapkan subak sebagai warisan budaya dunia.

Dan persawahan Jatiluwih boleh dibilang masih menjalankan subak dengan pola asli, yaitu tanpa adanya bangunan beton pada aliran irigasinya. Kemudian, padi bali merah adalah varietas lokal yang masih dipertahankan untuk ditanam di persawahan Jatiluwih.

Petani setempat juga masih menjaga estetika menanam padi di lahan terasering agar tetap menghasilkan pemandangan indah hijaunya persawahan bersistem subak.

Terakhir, sejak 1993 area persawahan subak di Jatiluwih telah ditetapkan sebagai desa tujuan wisata. Subak di Jatiluwih juga dimasukkan oleh UNESCO sebagai bagian dari lanskap kultur Bali yang ikut dipengaruhi oleh subak sebagai warisan budaya dunia.

Pesona Keindahan Subak Jatiluwih

Jatiluwih sendiri berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan terletak di kaki Gunung Batukaru, gunung tertinggi kedua di Pulau Dewata.

Perlu waktu 1,5 jam dari pusat kota Denpasar untuk mencapai Jatiluwih dengan jarak tempuh sekitar 50 kilometer (km). Data Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan mencatat, luas lahan persawahan terasering di Jatiluwih mencapai lebih dari 50.000 hektare (ha) atau paling luas di seluruh Bali.

Seperti kebanyakan daerah di Bali, Jatiluwih juga memiliki beberapa cerita sejarah dan mitos yang masih dipercaya hingga saat ini di kalangan masyarakat setempat.

Menurut I Nengah Sutirtayasa, Ketua Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih berdasarkan cerita-cerita rakyat masa lampau Jatiluwih dipercaya berasal dari kata jaton yang berarti pesona yang nyata dan luwih yang berarti bagus atau baik, sehingga dapat diartikan Jatiluwih adalah desa yang memiliki pesona yang bagus dan nyata.

Dan keindahan ini juga yang dinikmati oleh Mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan keluarganya yang pernah menyempatkan diri berwisata ke Jatiluwih saat berkunjung ke Indonesia pada Juni 2017.

Obama dan keluarga juga menikmati Subak Jatiluwih seperti halnya para turis lain yang merasakan berbagai sensasi indah sata berkunjung ke sini. Seperti sensasi turun ke sawah ikut merasakan aktivitas bertani seperti mencangkul, membersihkan sawah atau nampadin, membajak sawah (ngelampit), meratakan tanah sawah (mlasah), menanam padi (nandur), dan memanen (sasih sada).

Tak hanya menikmati sensasi Bertani, atau berfoto, bahkan area persawahan ini juga digunakan para turis lokal dan mancanegara sebagai jalur trekking, hiking dan  bisa menyewa sepeda untuk memuaskan diri menikmati keindahan persawahan Jatiluwih yang luas terbentang.

Selanjutnya, tidak jauh dari persawahan terasering, Jatiluwih juga menyimpan aset cantik lainnya berupa air terjun Yeh Ho.

Disarankan untuk waktu terbaik supaya bisa leluasa  menikmati semua suguhan alam di sini datanglah pada pukul 8 pagi hingga 5 sore waktu setempat. Dan bila mengunjungi  Jatiluwih pada Februari hingga April akan mendapati pemandangan indah, yaitu saat batang-batang padi mulai tumbuh dan hamparannya mulai berwarna hijau kekuningan. Adapun pada bulan Juni-Juli saat masa panen tiba.

Biro Komunikasi

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi