The 1st World Blue Carbon Conference 2017 Intensifkan Pengelolaan Cadangan Karbon Biru untuk Kurangi Laju Emisi

The 1st World Blue Carbon Conference 2017 Intensifkan Pengelolaan Cadangan Karbon Biru untuk Kurangi Laju Emisi

Maritim - Jakarta, Indonesia siap dorong kerangka kerja pemanfaatan sumber daya pesisir sebagai penyerap karbon utama serta mitigasi perubahan iklim dalam pengembangan karbon biru. Dalam World Blue Carbon Conference 2017 (7-9/9), Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, BAPPENAS serta pihat-pihak terkait membahas posisi dan perkembangan terakhir tentang pengetahuan ilmiah potensi karbon wilayah pesisir Indonesia, implementasi pemanfaatan bagi peningkatan kesejahteraan dan konservasi ekosistem pesisir, peluang-peluang proyek percontohan, serta kolaborasi kelembagaan dan pemberdayaan komunitas dalam rangka mendukung dan memfasilitasi upaya-upaya pembangunan berkelanjutan berbasis karbon pesisir di Indonesia. Hal ini merupakan suatu upaya konsistensi terhadap komitmen nasional dalam penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% hingga 2030 dan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals).

“Berbeda dengan ekosistem daratan yang cenderung tidak akan bertambah pada saat tertentu, ekosistem pesisir mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam sedimen secara terus menerus dalam kurun waktu yang lama bila dikelola dengan baik,” ujar Deputi bidang SDM, IPTEK dan Budaya Maritim Safri Burhanuddin dalam sambutannya mewakili Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman.

Terdapat tiga ekosistem yang berpotensi sebagai karbon biru, yaitu mangrove, padang lamun, dan kawasan payau. Karbon Biru merupakan upaya untuk mengurangi emisi karbondioksida di Bumi dengan cara menjaga keberadaan hutan bakau, padang lamun, rumput laut dan ekosistem pesisir. Vegetasi pesisir diyakini dapat menyimpan karbon 100 kali lebih banyak dan lebih permanen dibandingkan dengan hutan di daratan.

Pemanfaatan eksosistem pesisir untuk karbon biru memerlukan pengelolaan ekosistem pesisir yang berkelanjutan dan koordinasi antar kementerian serta pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu, masih diperlukan komunikasi yang kontruktif untuk bersama-sama menyusun Roadmap Blue Carbon Indonesia, tambah Safri.

Selain itu, ekosistem pesisir mempunyai peran kunci dan efektif bagi masyarakat sebagai solusi adaptasi alami dan mitigasi dampak perubahan iklim, seperti cuaca ekstrim dan perlindungan terhadap bencana alam. Tanpa ekosistem pesisir, masyarakat pesisir di Indonesia akan mengalami kesulitan ekonomi yang sangat serius sebagai dampak dari tekanan yang ditimbulkan oleh kegiatan perikanan tangkap, budi daya dan pariwisata.

“Indonesia sebagai Negara kepulauan sangat bergantung kepada kawasan ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir memiliki peranan penting bagi masyarakat Indonesia khususnya menjadi sumber ekonomi dari perikanan dan dalam mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim. Kerusakan ekosistem pesisir tidak hanya dapat mengakibatkan bencana ekologis tapi  juga menimbulkan dampak kerugian ekonomi yang masif.” tegas CEO WWF-Indonesia Rizal Malik.

Menurut data REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) kerusakan ekosistem mangrove relatif lebih tinggi dibanding ekosistem padang lamun, sekitar 3,7% pertahun dengan tingkat kerusakan paling tinggi terjadi di pulau Jawa terutama Pantura. Kondisi terbaik ekosistem ini berada di utara Kalimantan Timur dan kawasan Indonesia Timur (Papua dan Maluku).

Upaya perlindungan dan restorasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu dilakukan untuk menjamin fungsi optimal ekosistem pesisir.  Ekosistem pesisir yang sehat akan menjamin keberlangsungan perikanan Indonesia terutama bagi 90 persen pelaku usaha perikanan skala kecil yang bergantung pada sumberdaya ikan di pesisir. “Kebijakan yang mendukung pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan dari kawasan pesisir sangat dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat dikawasan tersebut,” tambah Rizal.

Dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (CoP) ke-22, di Marrakesh, Maroko, karbon biru (blue carbon) telah digaungkan sebagai salah satu kontribusi bagi target pengurangan emisi karbon di dunia. Secara global, sebanyak 151 negara memiliki karbon biru, tetapi hanya 50 yang mengagendakannya untuk pengurangan emisi (NDC). Indonesia sebagai negara yang memiliki ekosistem karbon biru terbesar di dunia sudah sepantasnya mengambil peran penting dalam percaturan karbon biru global.

Dari penelitian Blue Carbon yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) bersama stakeholders terkait sejak lima tahun terakhir, padang lamun memiliki potensi menyerap dan menyimpan karbon sekitar 4,88 ton/Ha/tahun. Total ekosistem padang lamun di Indonesia dapat menyimpan 16,11 juta ton karbon /tahun. Sementara itu, untuk ekosistem mangrove, rata-rata penyerapan dan penyimpanan karbon sebesar 38,80 ton/Ha/tahun. Jika di hitung secara total maka potensi penyerapan karbon ekosistem mangrove adalah 122,22 juta ton/tahun. Namun, Indonesia telah kehilangan lebih dari seperempat luas hutan bakau dalam tiga dekade terakhir dari 4,20 juta hektar pada tahun 1982[1] menjadi 3,48 juta hektar pada tahun 2017.