Akselerasi Implementasi KBLBB, Deputi Rachmat: Transisi ini Butuh Perjalanan Panjang
Marves - Bandung, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi, Rachmat Kaimuddin, mengatakan bahwa transisi penggunaan kendaraan listrik di Indonesia membutuhkan kerja sama semua pihak. Hal tersebut dirinya sampaikan saat membuka diskusi panel dan sosialisasi "Dekarbonisasi Sektor Transportasi melalui Adopsi Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) untuk Indonesia Lebih Baik" di Bandung (Selasa, 7-11-2023).
“Transisi ini perjalanan yang panjang, tapi bukan berarti kita tidak berbuat sesuatu. Kita harus mulai merencanakan, membuat roadmap. Ini masa depan kita menjadi taruhannya. Oleh karena itu, pemerintah memberikan dorongan yang kuat. Pemerintah tidak bisa sendiri, butuh support dari pemda, industri, dan user,” ungkap Deputi Rachmat.
Menurutnya, pengembangan industri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) merupakan bagian dari upaya transisi energi yaitu dengan mentransformasi industri dan menjaga lingkungan. Deputi Rachmat menyampaikan bahwa pasar otomotif Indonesia merupakan yang terbesar di ASEAN.
“Industri ini merupakan sektor yang penting untuk Indonesia. Dampak ekonominya juga sangat luas karena kita bukan hanya konsumen tapi juga produsen. Namun, kita juga harus melihat tren dunia yang mulai beralih ke kendaraan listrik,” tuturnya.
Mengenai hal tersebut, Bentang Arief Budiman, Partnership Manager National Center for Sustainable Transportation Technologi (NCCT), menyampaikan bahwa perlunya kolaborasi multipihak untuk mendorong akselerasi kendaraan listrik.
“Akademisi dan industri harus berkolaborasi, mulai dari pengembangan teknologi, lalu pengembangan pengetahuan, dan juga bisnis. Kolaborasi setiap sektor tersebut untuk bersama mentransformasi apa yang telah dikembangkan secara keilmuan sehingga menjadi produk yang dapat bermanfaat bagi masyarakat,” ucapnya.
Deputi Rachmat menjelaskan sejak ratifikasi Paris Agreement tahun 2016, perkembangan global kendaraan listrik naik setiap tahunnya, seperti pada tahun 2022 yang naik menjadi 14%. Menurutnya, di regional saingan terbesar Indonesia adalah Thailand yang pasar kendaraan listriknya telah mencapai 8% pada tahun 2023.
“Indonesia perlu mengantisipasi, jangan sampai nanti industrinya terbentuk di Thailand besar, Indonesia tidak, terus nanti saat pasar sudah fokus di kendaraan listrik, jangan sampai semua kendaraan listrik kita buatan Thailand,” ucap Deputi Rachmat.
Menurutnya pemerintah telah menciptakan insentif untuk mendorong pengembangan industri kendaraan listrik, salah satunya melalui program bantuan dengan insentif tujuh juta rupiah/orang untuk setiap unit kendaraan motor. Sementara menurutnya, untuk adopsi mobil dan bus listrik terdapat pengurangan PPn dari 11% menjadi 1%.
“Target pemerintah tahun 2030, ada dua juta mobil dan ada 13 juta motor listrik sehingga sudah 10% populasi, itu target kita. Dengan 10% itu diharapkan sudah mulai masuk ranah mainstream. Kita akan secara tidak langsung mengurangi import BBM, dan subsidi BBM. Saat ini sudah ada 15 merek motor listrik dengan TKDN 40% yang diproduksi di Indonesia,” jelasnya.
Terkait hal tersebut, Saadiyah Dwidaningsih, Kepala Dinas ESDM Jawa Barat, mewakili Pj. Gubernur Jawa Barat menyampaikan telah mendukung program akselerasi kendaraan listrik dengan memberikan konversi kit, yaitu kepada 17 SMK di Jawa Barat.
“Ini adalah untuk memperkuat, untuk lebih memperbanyak lagi bengkel-bengkel konversi, selain juga kemudian meningkatkan kapasitas dari siswa-siswa dan juga tenaga-tenaga ahli yang nanti ke depan akan mengembangkan kendaraan listrik ini,” ungkapnya.
Kadis Saadiyah menambahkan bahwa provinsi Jawa Barat mendapatkan penghargaan dari Dewan Energi Nasional sebagai pemerintah daerah yang berhasil mengampanyekan energi bersih dan daerah yang berhasil mendorong transisi energi.
Dalam paparannya, Deputi Rachmat menjelaskan bahwa hanya dengan mengembangkan industri EV dalam negeri, Indonesia dapat merealisasikan eksternalitas positif dan mencegah risiko berkurangnya PDB dan lapangan pekerjaan akibat transisi industri otomotif.
“Harapan kita, mulai tahun depan akan ada investor baru untuk mulai membangun pabrik EV di Indonesia, dengan target 2026 sudah mulai bisa berproduksi. Untuk menarik itu, kita harus bisa membuktikan bahwa pasar Indonesia itu menarik,” harap Deputi Rachmat.
Dirinya menegaskan bahwa akselerasi adopsi EV penting untuk dilakukan, khususnya penting untuk mengakselerasi agenda dekarbonisasi Indonesia, memperbaiki kualitas udara, dan menyukseskan hilirisasi mineral kritis Indonesia.
“Tapi kita gak bisa nunggu, kalo kita nunggu kita akan hanya jadi penonton. Karena negara-negara lain sudah sangat aktif mengundang dan mereka sudah mulai membangun pabrik-pabrik. Kita harus ingat sebagai negara ASEAN, bea masuk sesama ASEAN itu 0% jadi kalo misalnya terbangun di negara ASEAN lain, itu masuk Indonesia 0% kita hanya akan jadi konsumen,” pungkasnya.
Sebagai informasi, kegiatan tersebut turut mengundang perwakilan dari Institusi Teknologi Bandung, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal ILMATE Kementerian Perindustrian, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Konservasi Energi Kementerian ESDM, PT. Surveyor Indonesia, PT. Bank Mandiri, dan AISMOLI.
No.SP-270/HUM/ROKOM/SET.MARVES/X/2023
Biro Komunikasi
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi