Antisipasi Dampak Sosial Ekonomi Melelehnya Kutub Utara, Kemenko Kemaritiman Gali Masukan PakarAntisipasi Dampak Sosial Ekonomi Melelehnya Kutub Utara, Kemenko Kemaritiman Gali Masukan Pakar

Antisipasi Dampak Sosial Ekonomi Melelehnya Kutub Utara, Kemenko Kemaritiman Gali Masukan PakarAntisipasi Dampak Sosial Ekonomi Melelehnya Kutub Utara, Kemenko Kemaritiman Gali Masukan Pakar

Maritim—Jakarta, Menurut catatan National Aeronautics and Space Administration (NASA) ada Bulan Maret 2017, jumlah lapisan es di Arktik, Kutub Utara mencapai level terendahnya di musim dingin. Kendati letaknya cukup jauh dari Indonesia, namun mencairnya lapisan es di kutub utara sebagai akibat dari memanasnya suhu global itu memberikan efek sosial dan ekonomi yang cukup besar.      Hal ini terungkap dalam forum Diskusi Kelompok Terarah/FGD yang diselenggarakan oleh Kemenko Bidang Kemaritiman dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), pada Senin (7/8/2017).

Pada kesempatan itu, Asisten Deputi Bidang Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman Basilio Dias Araujo mengungkapkan bahwa pemerintah perlu menyusun strategi untuk mengatasi efek mencairnya es di Arktik bagi Indonesia.     Menurutnya, ada tiga hal yang perlu segera disikapi oleh pemerintah. Pertama, apabila terjadi pencairan es di kutub utara maka akan terjadi perubahan dan peralihan alur pelayaran dari Belanda menuju Asia khususnya menuju Cina, Jepang dan Korea. Atau terjadi perubahan melalui jalur timur atau jalur Rusia karena jumlah hari layar hanya sekitar 15 sd 20 hari dari semula 30 hari melalui terusan Suez.

Kemudian dari sisi perdagangan. “Kalau kita menaruh pusat perdagangan  di China, Jepang dan Korea, dengan mencairnya es di Kutub Utara, maka jalur menuju Rusia menjadi terbuka,”ujar Basilio. Dengan terbukanya jalur di Rusia itu, maka alur pergadangan berubah dari wilayah barat ke utara. “Berarti Indonesia dan Singapura bisa kehilangan kesempatan luar biasa besar karena kapal-kapal dagang yang menuju ke Jepang atau China tidak lagi melalui Selat Malaka,” bebernya.

Kedua, lanjut Basilio, Indonesia dapat mengalami dampak khususnya ancaman hilangnya  pulau-pulau di dataran rendah. "Bila es di kutub utara mencair, maka permukaan air laut lama kelamaan akan naik, hal ini dapat menyebabkan pulau kit hilang tanpa kita sadari," tuturnya.     Ketiga, Basilio menyebutkan, Indonesia sebagai negara  penyumbang pemananasan global ketiga terbesar  dunia mempunyai tanggung jawab besar untuk turut menghentikan pencairan es di kutub utara.

Lebih jauh, dia mengungkapkan, Indonesia perlu mengambil peran lebih besar dalam mengatasi dampak perubahan iklim. “Sudah menjadi tanggung jawab kita untuk ikut berkontribusi dalam mengatasi dampak pemanasan global karena Indonesia merupakan salah satu negara penghasil emisi karbon terbanyak di dunia,” tegasnya.

Salah satu bentuk kontribusi tersebut adalah dengan keterlibatan Indonesia sebagai pengamat dalam Dewan Arktik. Lembaga yang beranggotakan delapan negara di kawasan Arktik untuk mengatasi isu perubahan iklim disana. “Ada 13 observer, antara lain Singapura, Jepang, dan China. Sementara Indonesia yang merupakan negara besar justru tidak  ada di dalamnya,”kata Basilio.

Dalam kesempatan yang sama, pakar Arktik dari Moscow State Institute of International Relations Muhammad Ardhi menyarankan agar Indonesia ikut berperan dalam dewan Arktik. “Efek perubahan iklim isunya riil, Indonesia perlu bergabung dalam organisasi agar bisa memperoleh informasi dan tukar menukar pengalaman untuk mengatasinya,” sarannya.

Senada, pakar Arktik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Maxensius Tri Sambodo menjelaskan bahwa mencairnya es di kutub utara karena perubahan iklim berpengaruh pada ketahanan pangan. “Masyarakat perlu segera diberikan edukasi tentang pengaruh perubahan iklim dan mencairnya es di Kutub Utara,”pungkasnya. (**)