Deputi Ridwan Ingin Infrastruktur Jadi Program Prioritas Pembangunan Indonesia

Deputi Ridwan Ingin Infrastruktur Jadi Program Prioritas Pembangunan Indonesia

Maritim – Jakarta, Deputi Bidang Koordinasi Bidang Infrastruktur Kemenko Maritim, Ridwan Djamaluddin menyatakan bahwa pihaknya telah menjadikan infrastruktur sebagai program prioritas pembangunan di Indonesia. Hal itu diungkapkannya dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kemaritiman 2017 di Sasana Kriya, TMII, Jakarta Timur, Kamis (04-05-2017).

“Terkait infrastruktur, adapun ruang lingkup yang kami kerjakan adalah infrastruktur konektivitas jalan yakni transportasi laut, udara, darat dan lain lain, kemudian sistem logistik, infrastuktur pertambangan dan energi, infrastruktur pelayaran, perikanan dan pariwisata, serta industri penunjang infrastruktur, industri kapal dan lain-lain. Infrastruktur ini sudah menjadi prioritas pembangunan di Indonesia dalam 3 tahun terakhir,” kata Ridwan.

Untuk memaksimalkan infrastruktur sebagai program prioritas pembangunan tersebut, Ridwan memaparkan mungkin 3 bulan terakhir dalam rapat terbatas kabinet akan dibahas atau topiknya menyangkut infrastruktur, sebab kita butuh itu untuk percepatan pembangunan dan pemerataan pembangunan. Dan seperti dilihat, papar Ridwan, sejauh ini perkembangan wilayah barat dan timur belum berimbang, sehingga infrastruktur ini diarahkan untuk percepatan dan pemerataan, dan khususnya banyak program di wilayah timur Indonesia.

“RKP Bappenas tahun 2016 lalu juga temanya infrastruktur yakni mempercepat pembangunan infrastruktur untuk memperkuat fondasi pembangunan yang berkualitas, tahun 2017 temanya infrastruktur dan ekonomi yakni memacu pembangunan infrastruktur ekonomi untuk meningkatkan kesempatan kerja serta mengurangi kemiskinan dan kesenjangan antarwilayah, dan di tahun 2018 kita juga baru dengar tadi pagi Pak Menteri PPN mengatakan investasi dan infrastruktur. Untuk infrastruktur konektivitas sistem logistik dan tata ruang beberapa contoh saja yang baru kita selesaikan, yaitu pelabuhan Patimban dan Cilamaya, sekarang sedang sibuk kereta api ekspres, yang setelah Jakarta - Bandung, kemudian lanjut Jakarta - Surabaya usulan baru yang akan kita kelola,” jelasnya.

“Yang tengah kita tangani juga LRT Jabodetabek hampir selesai, tetapi cita-cita pembangunannya tinggi dan saat kita bicarakan soal pendanaan sepertinya di situlah permasalahan yang berat. Selain LRT, juga pembangunan Bandara Kulon Progo.  Kita mau genjot turis di Jogja bandaranya sudah tidak memadai, maka dibangun bandara di Kulon Progo. Ketika isunya lintas kementerian, pemerintahan, dan pusat, di sanalah kita biasa menangani, seperti misalnya tentang efisiensi biaya logistik, contoh Tol Laut,” tambahnya.

Ketika berbicara Tol Laut, lanjut Ridwan, dirinya menerjemahkannya sebagai logistik, jadi menjamin ketersediaan logistik dan disparitas harga. Upaya efisiensi yang lain, pihaknya mengusulkan bila pelabuhan laut itu tidak berdiri – sendiri, tetapi tergabung pada sistem dry port supaya pelabuhan Tanjung Priok misalnya hanya untuk naik turun barang saja. Administrasinya dan dwelling time yang akan ditekan dari 3,7 menjadi 2 oleh presiden. Selain Pelabuhan Tanjung Priok, ada juga contoh pada Selatan Jawa, di mana penerbangan kita di Utara Jawa sudah terbilang padat. Akan hal itu, pihaknya berencana menggeser ke Pulau Jawa dalam struktur logistik dan tata ruang sebesar 30%.

“Untuk pelayaran, perikanan dan pariwisata, isu lain yang kita lakukan adalah tanggul laut atau sejenisnya. Untuk pariwisata yang sifatnya pelabuhan, seperti Pelabuhan Benoa, sudah kita selesaikan masalahnya, dan semoga menjadi lebih bagus sebagai pelabuhan kapal plus pariwisata. Untuk kawasan industri perikanan yang sebagai contoh Natuna dan Anambas belum selesai, tetapi masih proses. Pariwisata selama ini terjadi tumpang tindih kewenangan daerah dan lain lain. Sekarang kita coba satu destinasi, satu manajemen, jadi akan terbentuk badan otoritas pariwisata, yang sudah terbentuk ada di Danau Toba dan Borobudur,” paparnya.

Untuk memudahkan kita dalam tata kelola pelabuhan serta berikutnya tentang penambangan infrastruktur dan energi, lanjut Ridwan, contoh listrik adalah cita-cita membangun 35.000 mega watt sampai 2019 bukan lah perkerjaan gampang. Sebab kalo dilihat dari pie chart ini baru 2% yang sudah menyala, namun terpenting 58% keterangan itu sudah tanda tangan kontrak.

“Dan nanti kita kan lihat berapa realistisnya yang akan tercapai, masalahnya banyak sekali ada teknis regulasi pembebasan lahan dan lain-lain. Yang baru tenaga listrik pembangkit sampah, bagaimana mengelola sampah agar tidak menjadi musuh. Kita usahakan berguna salah satunya menjadi listrik, ini Perpresnya sudah sempat jadi, tetapi dibatalkan oleh Mahkamah Agung, karena diprotes oleh LSM,” tuturnya.

“Intinya sampah harus dibersihkan dari kota, supaya membersihkan tidak hanya membuang untuk membersihkan, maka dari itu kita olah menjadi listrik. Awalnya tujuh kota, namun ada beberapa penambahan kota yang akan kita tambah pada Perpres tersebut,  yang lain adalah nilai tambah mineral itu smelter, industri penunjang infrastruktur. Jadi kita ingin membangun tetapi penunjangnya mana, misalnya industri galangan kapal untuk negara sebagus ini, galangan kapal kita bagus tidak sih untuk negara yang lautnya 75% ini. Kalo kita lihat walupun sebagian besar laut kita di Timur, tetapi galangan kapal kita banyak di pulau Batam,” tambahnya.