Gasifikasi Batu Bara menjadi DME dan Karbon Netral 2060
Marves - Jakarta, Menjelang perhelatan Konferensi Iklim (COP 27) di Sharm El-Sheik Mesir, Indonesia menaikkan target NDC (Nationally Determined Contribution). Dalam proposal baru, NDC yang diajukan pada tanggal 23 September 2022 ini naik menjadi 31,89 persen (sebelumnya 29 persen) dari produksi emisi 2.87 miliar ton setara CO2 dengan usaha sendiri. Sementara target penurunan emisi karbon dengan bantuan asing naik menjadi 43.2 persen (sebelumnya 41 persen).
Dalam peta jalan transisi energi menuju netral karbon, tahapan awal dalam pemenuhan target NDC 2021-2025 salah satunya dengan melakukan hilirisasi batubara menjadi DME (Dimethyl Ether) sebagai substitusi LPG. Selama ini Indonesia telah mengimpor LPG senilai Rp 80 Triliun dari total kebutuhan Rp 100 Triliun. Selain itu, pemerintah juga memberikan subsidi LPG sebesar Rp 70 triliun. Konsumsi LPG pada tahun 2021 mencapai 7,95 juta ton, dari jumlah konsumsi tersebut 6,4 juta ton berasal dari impor. DME selain menjadi salah satu faktor pemenuhan target NDC juga menekan kebutuhan impor LPG dan memperbaiki neraca perdagangan.
Merujuk pada UU No. 3 Tahun 2020 telah menjadi kewajiban bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk melakukan Peningkatan Nilai Tambah (PNT). Salah satunya lewat gasifikasi batubara menjadi DME untuk mengurangi impor LPG di masa depan.
Proyek gasifikasi batu bara menjadi DME sudah tidak pada tahapan pilot project. Presiden Joko Widodo telah meresmikan groundbreaking proyek hilirisasi batu bara menjadi DME di Tanjung Enim, Sumatera Selatan pada Januari 2022. Proyek Strategis Nasional (PSN) ini merupakan kerja sama PT Bukit Asam Tbk, PT Pertamina (Persero), dan Air Products & Chemical Inc. Dimana PT Bukit Asam Tbk dengan teknologi dari Air Products akan menghasilkan DME 1.4 juta metrik ton/tahun atau setara dengan 1 juta ton LPG. PT Pertamina (Persero) menjadi offtaker dan distributor dari DME produksi PT Bukit Asam Tbk. Tahap awal ini nilai investasi mencapai US$ 2.3 miliar atau Rp 33 triliun. Pada tahap ini DME yang dihasilkan (kira-kira setara 1 juta ton LPG) dapat menghemat APBN untuk pengadaan LPG sebesar Rp 7 triliun. Sekaligus membuka ribuan lapangan pekerjaan. Dapat dikatakan bahwa nilai investasi yang cukup besar ini disebabkan Indonesia belum menguasai teknologinya.
Saat ini pemerintah tengah merancang RPerpres tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Penetapan Harga Dimetil Eter sebagai Bahan Bakar, dimana Pertamina akan menjadi offtaker. RPerpres ini juga mengatur Menteri Koordinator BIdang Perekonomian akan menetapkan formula harga patokan DME, biaya pokok produksi dan subsidi. Sementara harga jual DME umum akan ditetapkan oleh Badan Usaha (Pertamina).
Namun pada masa pembangunan infrastruktur sampai proses produksi, pemerintah perlu memberikan insentif baik fiscal dan nonfiscal sebagai dukungan pelaksanaan PSN ini. Besarnya investasi, perubahan nature of business (atau penambahan anak usaha baru) pertambangan menjadi industri kimia, komitmen offtaker setelah DME diproduksi maka insentif fiscal dan nonfiscal seperti penghapusan royalty batubara yang digunakan pada proyek gasifikasi perlu ditegaskan agar implementasi proyek ini juga dapat menghasilkan keuntungan.
Proyek gasifikasi batu bara menjadi DME sebagai upaya mencapai target net zero emission membutuhkan dukungan pemerintah mengingat dukungan pendanaan untuk proyek berbasis batubara sedang sulit. Keberadaan Indonesia Investment Authority dapat mendukung pendanaan PSN ini. Serta dengan telah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 26/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia, telah diberikan ketegasan bahwa batubara yang menjadi bahan baku industry DME dapat dikenakan tarif 0 persen. Regulasi ini diharapkan dapat menyegarkan investasi pada sektor hulu.
Namun pekerjaan rumah pemerintah masih belum selesai. RPerpres tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Penetapan Harga Dimetil Eter sebagai Bahan Bakar masih belum selesai. Perpres yang sedianya mengatur harga produksi dan subsidi perlu dikawal bersama-sama agar terwujud skema harga jual yang sesuai, tidak merugikan produsen, mengurangi beban importasi dan subsidi di masa depan, serta yang paling penting agar sweetener yang telah diberikan dan yang masih berproses ini mempercepat target Indonesia menuju karbon netral 2060.
Biro Komunikasi
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi