Pemerintah Promosikan Hasil Riset Peneliti Indonesia di Workshop FAO
Maritim—Bali, Tak ingin terus dituding sebagai penyumbang sampah plastik terbanyak ke-2 di dunia dan kontributor pencemaran laut dari alat penangkapan ikan yang hilang, pemerintah promosikan hasil riset perikanan Indonesia dalam Workshop on the Best Practices to Prevent and to Reduce Abandoned Lost or Otherwise Discarded Fishing Gear (ALDFG) yang digelar di Kuta Bali, 8-11 Juli 2019.
Asisten Deputi Bidang Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman Basilio Dias Araujo dalam Workshop menjelaskan bahwa misi pemerintah adalah untuk mempromosikan hasil karya anak bangsa yaitu riset Dr. Fayakun dan timnya tentang alat penanda jaring. “Problem kita adalah banyaknya ALDFG yang hanyut di laut dan menyebabkan kerusakan lingkungan karena komponen utama ALDFG adalah plastik,” jelasnya pada Rabu (10-07-2019).
Menurut Asdep Basilio, alat penanda yang ditemukan oleh Fayakun dapat mengidentifikasi dan melacak hilangnya jaring nelayan di tengah laut. “Nah dalam even internasional yang kita selenggarakan bersama FAO ini, Kemenko Bidang Kemaritiman ingin nama periset kita lebih dikenal dalam komunitas internasional sehingga semakin banyak negara berkembang yang memanfaatkan temuan Dr. Fayakun,” katanya.
Terpenting, tambah Basilio, dia optimis teknologi Fayakun dan timnya akan mudah diadopsi karena menggunakan bahan alami yang mudah didapat dan murah.
Terpisah, Fayakun Satria, peneliti perikanan dari Balai Riset Perikanan Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan apresiasinya kepada Kemenko Bidang Kemaritiman karena telah diberi ‘panggung’ untuk mempromosikan hasil penelitiannya.
“Pada Bulan Juli tahun lalu, hasil riset saya untuk gear fishing marking sudah saya presentasikan dalam pertemuan Committee on Fisheries (COFI) FAO di Roma,” ujarnya di Bali, Selasa (09-07-2019). Alat tersebut menurut Fayakun telah dimasukkan dalam draft petunjuk FAO tentang manajemen alat tangkap untuk nelayan kecil yang dapat diaplikasikan secara sukarela.
Gear marking untuk jaring insang (gill net) tersebut telah diujicoba oleh Fayakun dan tim di wilayah pesisir Sadeng, Yogyakarta dan Pekalongan pada kurun waktu 2017-2018. “Nelayan sudah mencoba dan tidak ada masalah, bahkan mereka mau menggunakannya,” tutur Fayakun.
Penanda jaring insang yang dibuat oleh Fayakun ini sangat aman bagi lingkungan karena bahannya terbuat dari bambu atau kayu dan tali pengikatnya terbuat dari daun pandan.
Namun demikian, menurut peneliti senior di KKP itu, ada masalah lain yang dihadapi oleh pemerintah saat ini. Masalah tersebut adalah bagaimana menarik gill net yang sudah berserakan di laut ke daratan (retrieval). “Karena masalah ALDFG atau jaring hantu ini tidak hanya dihasilkan oleh perikanan skala kecil, namun juga industri perikanan skala besar, maka dalam waktu dekat kami berencana untuk membuat penanda jaring dari bahan alami namun dilengkapi dengan barcode atau kode unik,” katanya dengan mimik serius. Selain itu penelitian lanjutan juga akan dilakukan tahun ini untuk mengembangkan alat tangkap bubu yang produktif dan ramah lingkungan lengkap dengan penandaannya (gear marking).
Lebih jauh, Fayakun menjelaskan bahwa dalam barcode tersebut akan menyimpan data tentang pemilik jaring dan di wilayah mana mereka beroperasi. “Dengan electronic device, barcode itu akan discan sehingga ketahuan siapa pemiliknya dan mempermudah proses retrieval,” imbuhnya.
Hasil temuan Fayakun kini telah dimasukkan dalam rekomendasi rujukan cara efektif untuk manajemen pencegahan dan pengelolaan ALDFG atau ghost fishing yang disusun oleh berbagai lembaga di Indonesia, LSM internasional dan FAO di Bali. Selain best practice dari penelitian Fayakun, draft rujukan FAO tersebut juga berasal dari negara-negara di Eropa, Amerika serta Asia Pasifik.
[gallery link="file" size="medium" columns="2" ids="38742,38743,38740,38739,38745"]
Biro Perencanaan dan Informasi
Kemenko Bidang Kemaritiman