Pemerintah Tekankan Pentingnya Blended Finance dalam Pengelolaan Air

Pemerintah Tekankan Pentingnya Blended Finance dalam Pengelolaan Air

Marves - Badung, Saat ini dunia sedang mengalami krisis air yang berkepanjangan. Bertambahnya jumlah penduduk dunia, dampak perubahan iklim, dan infrastruktur air yang tidak memadai mengancam ketersediaan dan kualitas sumber daya air kita. Lebih dari 2,2 miliar orang, atau 27% populasi global, tidak memiliki akses terhadap layanan air yang dikelola dengan baik. Hal ini disampaikan oleh Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Nani Hendiarti, saat menghadiri High Level Panel 4: Reimagining The Role of Finance in Collective Action yang merupakan side event World Water Forum ke-10 pada Rabu (22/5/2024).

“Bencana dan perubahan iklim memperburuk krisis air yang kemudian mempengaruhi ketahanan pangan dan keselamatan manusia. Namun, hingga saat ini hanya tiga persen dari dana iklim yang dialokasikan untuk proyek-proyek terkait air, dan hanya sepersepuluh dari dana tersebut yang dialokasikan untuk proyek-proyek guna menjamin layanan air dan sanitasi,” jelasnya.

Deputi Nani menjelaskan bahwa untuk mencapai akses yang aman, adil, dan terjangkau terhadap air bersih, sanitasi, dan kebersihan bagi seluruh lapisan masyarakat pada tahun 2030, diperlukan investasi sebesar 114 miliar USD, dimana nilai tersebut hanya untuk pemenuhan layanan dasar. Percepatan penyediaan infrastruktur air bersih di Indonesia penting dilakukan mengingat masih terjadi ketimpangan harga air bersih antar daerah akibat belum meratanya infrastruktur air bersih. Hal ini sejalan dengan peta SDG Indonesia tahun 2030, di mana pemerintah menargetkan 100 persen penduduk agar dapat memiliki akses terhadap sumber air minum yang memadai.

“Dalam hal ini, mekanisme penyaluran pembiayaan yang tepat juga diperlukan untuk sektor air minum. Salah satunya adalah mekanisme blended finance untuk proyek-proyek berskala besar dengan menggabungkan berbagai dana dari pemangku kepentingan, khususnya sektor swasta dalam pengelolaan air,” pungkasnya.

Sebagai informasi, dua hari yang lalu pada Senin (20/5/2024), bersama negara founder Global Blending Finance Alliance (GBFA), yaitu Perancis, Sri Lanka, UEA, Luxembourg, Kenya, DRC, Fiji, dan Kanada, telah meluncurkan sekretariat G20 Bali Global Blended Finance Alliance (GBFA). GBFA ini bertujuan untuk menjembatani kesenjangan SDG dan pendanaan iklim di negara-negara berkembang dengan memobilisasi pendanaan campuran dalam skala besar. GBFA akan membantu negara-negara untuk memfasilitasi penciptaan proyek-proyek yang bankable, membangun kapasitas, memfasilitasi pengembangan kebijakan mengenai blended finance di bawah South-South Cooperation, dan melibatkan sektor swasta untuk membuka akses terhadap pendanaan iklim, salah satunya adalah untuk pengelolaan air.

Indonesia memiliki studi kasus yang sukses dalam pengelolaan air, di mana program Citarum Harum secara signifikan meningkatkan indeks kualitas air Sungai Citarum, yang pernah dijuluki sebagai sungai paling tercemar di dunia, melalui integrasi kebijakan laut dan air tawar. “Kami telah mendirikan beberapa pusat daur ulang di sepanjang Sungai Citarum dan mendisiplinkan pabrik untuk memastikan limbah di sepanjang Citarum diolah dengan baik,” tuturnya.

Inisiatif ini tidak hanya meningkatkan indeks kualitas sungai, tetapi juga mendorong praktik pengelolaan sampah berkelanjutan di masyarakat lokal. “Saya yakin keberhasilan program seperti ini, serta akses dengan menggunakan sistem blended finance akan memungkinkan negara-negara mewujudkan akses terhadap air bersih yang aman, adil, dan terjangkau bagi masyarakat,” tambah Deputi Nani. Ia juga berharap melalui kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, masyarakat lokal, dan didukung oleh kerangka kebijakan yang tepat serta akses terhadap pendanaan, seluruh pihak secara bersama-sama dapat mengatasi tantangan dalam pengelolaan air.

No.SP-139/HUM/ROKOM/SET.MARVES/V/2024
BIRO KOMUNIKASI
KEMENKO BIDANG KEMARITIMAN DAN INVESTASI