Sektor Kelautan Bukan Faktor Tunggal Penentu Keberhasilan Pembangunan Kemaritiman

Sektor Kelautan Bukan Faktor Tunggal Penentu Keberhasilan Pembangunan Kemaritiman

Maritim--Bogor, Indonesia sebagai poros maritim dunia adalah salah satu cita-cita yang ditegaskan kembali oleh Presiden Joko Widodo sejak terpilih pada tahun 2014 silam. Pendirian Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan kebijakan di bidang kemaritiman merupakan salah satu realisasi dari cita-cita presiden tersebut.

Untuk mengevaluasi sejauh mana implementasi program dan kebijakan kemaritiman itu, Pusat Kajian Pesisir dan Sumberdaya Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor (IPB) mengadakan kajian ilmiah bertajuk "Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Melalui Pembangunan Ekonomi Kelautan". Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Kemenko Bidang Kemaritiman Ridwan Djamaluddin adalah salah satu pembicara dalam kegiatan ilmiah tersebut.

Menurut Deputi Ridwan, dua tantangan terbesar dalam pembangunan kemaritiman adalah pusat ekonomi yang masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera serta konfigurasi pulau di Indonesia yang beragam sehingga menyebabkan mahalnya biaya transportasi. "Kalau kita lihat, ongkos untuk mengangkut barang dari Jakarta ke Padang harganya hampir tiga kali lipat lebih mahal daripada ongkos angkut barang dari Jakarta ke Singapura. Ini terjadi karena muatannya tidak dua arah," ujarnya mencontohkan.

Untuk menjawab tantangan itu, Deputi yang juga ketua Ikatan Alumni ITB itu menyebutkan bahwa pemerintah telah upayakan beberapa hal. "Siapkan pengembangan 12 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang tersebar di bagian barat hingga timur Indonesia, pengembangan 14 kawasan industri di luar Pulau Jawa serta program tol laut," sebutnya.

Lebih jauh, Ridwan menjelaskan, kegiatan utama dalam pengembangan KEK tersebut antara lain industri, logistik dan pariwisata. Diapun mencontohkan kegiatan utama yang dilakukan di KEK Lhokseumawe maupun KEK Mandalika. Menyinggung tentang program tol laut, lanjutnya, meskipun di beberapa daerah telah berhasil mengurangi disparitas harga bahan pokok hingga 25% namun pemerintah masih punya pekerjaan rumah yang cukup besar. "Jadi ini masih satu arah sifatnya, misalnya dari Jakarta atau Surabaya ke Makassar, kembali bawa 'angin' istilahnya, tidak ada barang-barang yang ditarik dari luar Jawa ke Jawa," bebernya.

Selain itu, tambah Ridwan, kendala lain yang muncul dalam program tol laut adalah harga barang masih relatif murah di pelabuhan tempat kapal bersandar. Namun, di pulau-pulau kecil lainnya, harga barang itu kembali melambung karena lokasinya yang sulit ditempuh lewat laut. "Oleh karena itu sekarang kita sedang mempertimbangkan sistem feeder nya agar barang tidak hanya sampai di pelabuhan namun juga sampai ke pulau-pulau kecilnya," tambah Ridwan.

Terpenting, menurutnya adalah keterpaduan moda transportasi pendukung tol laut agar harga dari pelabuhan utama tetap sama hingga ke tujuan akhir. "Ketika berbicara tentang pembangunan kemaritiman, kita tidak hanya berbicara tentang kelautan saja namun juga berbicara tentang keterpaduan moda transportasinya," tegas Deputi Ridwan.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Utama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Gellwyn Jusuf mengakui bahwa saat ini pemerintah membutuhkan masukan dari masyarakat untuk menyusun Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) di bidang kemaritiman. "Agar ada kesamaan persepsi tentang kemaritiman, perlu disusun sebuah peta jalan yang memuat arah tentang arah pembangunan maritim kedepan," pungkasnya.

[gallery ids="21049,21050,21051"]