Pengelolaan Lahan Basah yang Benar Mencegah Penurunan Muka Tanah

Pengelolaan Lahan Basah yang Benar Mencegah Penurunan Muka Tanah

Maritim - Jakarta, Seiring dengan semakin meluasnya pembahasan mengenai penurunan muka tanah, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman bekerja sama dengan Wetlands International Indonesia (WII) menyelenggarakan Seminar Nasional Strategi Pencegahan dan Penanggulangan Penurunan Muka Tanah di Lahan Basah Pesisir pada Selasa-Rabu, 27-28 Maret 2018, dihadiri oleh sekitar 70 peserta dari berbagai instansi terkait. Dalam seminar ini dibahas berbagai fakta, tantangan yang dihadapi, serta potensi untuk menghadapi fenomena maupun menanggulangi dampak dari penurunan muka tanah akibat pengeringan lahan basah (wetlands) sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran lengkap maupun pemahaman yang benar di berbagai kalangan masyarakat.

Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono membuka acara seminar dengan menegaskan bahwa kondisi lahan basah Indonesia telah mengalami kerusakan. "Kondisi lahan basah kita sudah banyak yang rusak, mangrove kita total 52% rusak bahkan di pantura ada 85% yang sudah hilang dan rusak berubah menjadi perumahan, tambak ikan. Sudah lenyap. Beberapa tempat air lautnya sudah naik. Menghilangkan tanah- tanah yang menjadi lahan basah. Ada tinggal beberapa tempat yang mangrovenya masih bagus dan dapat menjadi tempat wisata." Terkait berbagai gerakan penanaman mangrove, Deputi Agung mengingatkan yang penting adalah memelihara bibit-bibit mangrove yang sudah ditanam, bukan pada seremoninya. "Membabatnya mudah sehari bisa berapa hektar hilang. Menanamnya itu yang susah. Menanam 1000 pohon mangrove yang jadi paling 100 karena pengalaman teman saya berkecimpung dibidang itu. Begitu ditanam satu, dicabut lagi. Ketika sudah ada daunnya dimakan kambing. Jadi menanam mangrove bukan sekedar di tancapkan terus ditinggal ,tetapi harus di pelihara. Rame-ramenya itu saat menanam tapi setelah itu kita pulang dan siapa yang menjaga itu menjadi pertanyaan.", sesalnya.

Dataran rendah pesisir di Indonesia (diperkirakan sekitar 30 juta hektar) terdiri dari berbagai ekosistem lahan basah penting, seperti ekosistem mangrove, ekosistem gambut, ekosistem muara sungai, ekosistem laguna, ekosistem pertambakan, dan lahan pertanian pasang surut, yang sebagian besar berlokasi tidak jauh dari wilayah permukiman dengan elevasi dari permukaan laut kurang dari 30 meter. Berbagai ekosistem tersebut memiliki nilai dan manfaat serta jasa lingkungan yang sangat luas bagi mahluk hidup, di antaranya sebagai habitat atau tempat tinggal berbagai mahluk hidup, pencegah intrusi air laut, penyimpan air tawar, cadangan karbon yang sangat besar serta untuk mitigasi kebencanaan terkait potensi bahaya tsunami.

Kondisi lahan basah pesisir di Indonesia saat ini terancam akibat alih fungsi untuk permukiman, pertambakan, perkebunan, pembangunan sektor industri, dan pembangunan sarana dan prasarana. Selain alih-fungsi, pengambilan air tanah di wilayah lahan basah pesisir secara masif, terutama oleh masyarakat perkotaan, telah mengakibatkan penurunan muka tanah. Hal ini terjadi karena ketika air diambil dari lapisan permukaan kulit bumi, maka terjadilah pergeseran susunan bebatuan, dan akhirnya permukaan tanah mengalami penurunan.

“Penurunan muka tanah tampak jelas berlangsung di pantai utara pulau Jawa, dengan laju antara 1-25 cm per tahun. Kecenderungan ini merupakan suatu peringatan bagi kita, bahwa proses penurunan muka tanah akan terus berlangsung, jika tidak diambil tindakan untuk menghentikan ataupun menguranginya. Tanpa kita sadari, penurunan muka tanah akan berimbas kepada bencana yang langsung berdampak kepada masyarakat, bisa disebut juga sebagai silent killer, karena menyebabkan banir dan hilangnya daratan. Ketika hal yang sama terdeteksi di Tokyo pada tahun 1975, pemerintah Jepang segera mengambil tindakan pengendalian pengambilan air tanah. Data menunjukkan ada korelasi antara penghentian pengambilan air tanah dengan laju penurunan muka tanah, baik di Tokyo maupun di Jakarta,” jelas Dr. Heri Andreas, pakar Geodesi dari ITB yang hadir sebagai narasumber.

Sementara itu, di lahan gambut yang sebagian besar juga berada di kawasan pesisir, proses pembuangan air (drainase) secara berlebihan melalui kanalisasi seperti yang dilakukan pada kebanyakan usaha perkebunan sawit maupun akasia, juga mengakibatkan penurunan muka tanah. “Dengan kondisi seperti ini, maka pembukaan lahan gambut baru harus segera dihentikan, terlebih lagi gambut yang didrainase dengan kanalisasi. Fakta yang belum disadari banyak pihak adalah bahwa sebenarnya cadangan air tawar terbesar di Indonesia bukan di sungai atau danau, melainkan di lahan gambut”, tandas Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands International Indonesia, saat menyampaikan pidato kunci  di awal seminar. Pada saat yang sama, perubahan iklim secara global juga menyebabkan peningkatan muka air laut. Kedua fenomena tersebut menjadi suatu potensi penyebab bencana pesisir, yang selama beberapa tahun terakhir kerap kita alami dan saksikan terjadi di berbagai pelosok Indonesia.

Untuk itu, sebagai upaya untuk mengurangi risiko bencana di tengah berlangsungnya perubahan iklim global secara drastis dan penurunan kualitas lingkungan hingga taraf yang mengkhawatirkan, maka dibutuhkan suatu pendekatan pengelolaan risiko bencana secara terpadu. Pendekatan ini memadukan serangkaian upaya pengurangan risiko bencana (PRB), langkah-langkah adaptasi perubahan iklim (API), dan pengelolaan maupun restorasi ekosistem (PRE) dengan melibatkan seluruh unsur bangsa, menguatkan kelembagaan, menerapkan proses pembelajaran secara berkelanjutan, dan tetap memerhatikan perikehidupan masyarakat luas sebagai penghuni alam yang memiliki kemampuan untuk mengelolanya.

Deklarasi yang disepakati oleh seluruh peserta pada akhir seminar menjabarkan serangkaian langkah yang dapat diambil dalam upaya mengurangi laju penurunan muka tanah dan menanggulangi berbagai potensi risiko yang diakibatkannya. Serangkaian langkah tersebut termasuk pengendalian terhadap pengambilan air tanah terutama di perkotaan, penerapan pembangunan yang ramah lingkungan, pengendalian terhadap kanalisasi di lahan gambut, dan pembuatan suatu peta jalan di tingkat daerah maupun nasional untuk upaya antisipasi dan penanggulangan muka tanah secara terpadu dan konsisten. Ir. Agung Kuswandono, M.A., Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menyatakan, “Selesai acara ini, saya ingin melaporkan dan membawa isu penurunan muka tanah kepada pak Menko, untuk diteruskan lebih lanjut kepada pak Presiden. Saya yakin anggaran untuk ini ada, hanya berbagai upaya yang dilakukan oleh banyak pihak, baik itu pemerintah, NGO, maupun swasta masih terpecah-pecah, belum searah. Oleh karena itu, kita membutuhkan roadmap (peta jalan) untuk memberdayakan Peraturan Pemerintah (PP) yang sudah ada dan mencapai tujuan perbaikan lahan basah”.

Deputi Agung mengajak segenap elemen masyarakat untuk lebih peduli pada kelestarian lahan basah, "Saya mengajak semua khalayak untuk mulai memikirkan konservasi terhadap sumber daya alam kita, menjaga agar sumber daya alam ini dapat kita manfaatkan dengan lestari." Pungkasnya.***  
Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi
Berita Terpopuler Marves

2022 © KEMENKO MARVES RI - Copyright All Rights Reserved